Ambisi Politik dan Syahwat Kekuasaan

Bagikan Artikel Ini:

ADA falsafah nyeleneh orang yang duduk: lama duduk, lupa berdiri. Realitas ini dapat ditemukan dalam kehidupan politik atau organisasi di mana-mana. Tak peduli di lembaga legislatif, eksekutif, partai politik bahkan organisasi non-politik sekali pun. Semua orang tak akan lupa, bagaimana pemimpin Moammar Khadafi akhirnya tewas di ujung kekuasaannya yang perkasa. Orang kuat Libya yang berkuasa selama 42 tahun itu terbunuh di tangan musuhnya yang berasal dari kolaborasi tentara NATO dan kelompok oposisi. Benarlah kata sebuah adagium bahwa kekuasaan itu adalah candu. Sekali orang menikmati kursi kekuasaan itu, biasanya cenderung untuk terus berlanjut. Itulah hakikat watak dasar manusia yang selalu haus dalam memenuhi syahwat kekuasaannya.

Dalam sejarah, tercatat sepuluh pemimpin negara dunia yang paling lama berkuasa. Hampir para penguasa terlama itu merupakan dinasti kerajaan di antaranya Raja Thailand Bhumibol Adulyadej berkuasa selama 65 tahun (9 Juni 1946 sampai sekarang), Ratu Inggeris Elizabeth II (60 tahun, 6 Februari 1952 sampai sekarang), Sultan Brunei, Hasanal Bolkiah (44 tahun, 5 Oktober 1967 sampai sekarang), Ratu Denmark, Margrethe II (40 tahun, 14 Januari 1972 sampai sekarang), Raja Sewdia, Carl XVI Gustaf (38 tahun, 15 September 1973 sampai sekarang), Raja Spanyol dan  Juan Carlos (35 tahun,  22 November 1975 sampai sekarang).

Sedangkan penguasa dunia yang bukan dari keturunan kerajaan atau dari kalangan rakyat biasa, yang terlama ditempati oleh Moammar Khadafi (42 tahun,  1 September 1969 sampai sekarang). Selanjutnya diikuti oleh Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh (34 tahun, 18 Juli 1978 sampai sekarang), Presiden New Guinea, Teodoro Obiang Mbasogo (34 tahun) dan terakhir Presiden Indonesia, Soeharto (32 tahun).

Dalam konsep kekuasaan rakyat (demokrasi), pembatasan lama berkuasa merupakan pilihan paling ideal. Maksudnya agar kekuasaan pemerintahan itu tidak terperangkap dalam diktatorial atau fasis. Kekuasaan yang terlalu tentu saja berdampak buruk terhadap peradaban. Kekuasaan yang ideal hendaklah didapatkan melalui mekanisme demokrasi yang menempatkan teraju kekuasaan tersebut berada di tangan rakyat. Pantaslah adagium demokrasi itu berbunyi : suara rakyat, suara Tuhan.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Tata negara dan tata pemerintahan di hampir semua negara telah membuat aturan main pembatasan kekuasaan itu. Pola yang sama biasanya berlaku mulai dari posisi kepala negara atau kepala pemerintahan hingga jajaran di bawahnya seperti gubernur, bupati/ wali kota hingga kepala desa. Senada dengan itu, kepemimpinan organisasi juga dibatasi lama periode memimpin agar proses regenerasi kepemimpinan dan suksesi dapat berlangsung dengan baik.

Namun, sejarah kekuasaan selalu mengalami deviasi atau penyimpangan-penyimpangan. Betapa pun hebatnya peraturan yang sudah dibuat para wakil rakyat (legilastif) namun selalu ada celah bagi orang-orang yang cerdik (tricky) untuk menerobosnya. Mengapa orang ingin berkuasa atau memimpin lebih lama? Seseorang yang berkuasa terlalu lama biasanya menemukan comfort zone (wilayah nyaman) biasanya selalu berusaha mempertahankan status quo. Artinya seseorang itu sudah faham betul bagaimana memainkan peranan dalam situasi kekuasaan yang berada di tangannya. Penguasa seperti ini sudah memagari diri dengan strategi dan lapisan barikade para loyalis yang siap berjibaku menopang kekuasaannya.

Lama berkuasa bermakna semakin terjamin pula masa depan yang panjang dari aspek ekonomi atau pemenuhan keperluan ekonomis. Hal ini sebenarnya sudah ditengarai oleh adagium-adagium lain. Salah satu ungkapan paling populer sebagaimana dikemukakan Lord Acton: Power tend to corrupt (kekuasaan cenderung korup).  Itulah sebabnya, ketika seorang penguasa baik di sebuah negara atau organisasi begitu mengakhiri masa kekuasaannya yang terlalu lama selalu menyisakan kasus korupsi atau penyimpangan kekuasaan yang berujung pada memperkaya diri sendiri.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Ingat saja, bagaimana ketika Ferdinand Marcos di Filipina, Saddam Hussein di Irak atau Hosni Mubarak di Mesir ketika mengakhiri kekuasaannya, ditanggapi rakyat dengan penuh kebencian. Dalam perjalanan sejarah, banyak tokoh yang memulai sesuatu begitu baik. Namun di saat mengakhiri kekuasaannya berakhir dengan tragis. Sedihnya lagi, sering orang-orang dekat yang selama ini mengerubunginya, tiba-tiba berbalik jadi musuh yang siap menginjak-injaknya.

Kekuasaan memang harus selalu ada batasnya. Kekuasaan harus ada yang mengawasi agar tak terjebak pada kesewenang-wenangan. Kekuasaan harus dijadikan amanah agar bisa diperankan secara jujur dan benar. Kekuasaan yang berlebihan dipastikan akan menimbulkan mudharat yang luar biasa. Kekuasaan adalah batu ujian dalam memegang suatu amanah sehingga menempatkan seseorang yang berkuasa pada posisi di puncak kemuliaan. Jangan sampai kekuasaan menjadi jembatan menuju kehinaan.

Belajarlah pada sejarah. Ambil hikmah pada yang sudah. Orang-orang yang mengemban amanah kekuasaan secara pantas dan wajar niscaya akan menjadikan masa berkuasa itu sebagai gerbang ujian yang akan mengukur dirinya menjadi orang-orang amanah yang dicintai para pendukungnya. Penguasa seperti inilah yang tercantum dalam lembaran sejarah yang ditulis dengan tintas emas yang tak pernah kering-keringnya. Benarlah kata pepatah : harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama baik.

Menjadi pemimpin atau penguasa di mana pun, selalu memberikan pilihan-pilihan. Apakah ingin menjadi pemimpin yang selalu dikenang dalam sejarah? Atau menjadi orang yang dicaci-maki sampai kapan pun akibat ketamakan atau kezaliman yang ditunjukkan selama berkuasa.***

Fakhrunnas MA Jabbar
Budayawan

Komentari Artikel Ini