Angka Pengungsian Bencana Meningkat, 3,2 juta orang Mengungsi tahun 2017

Bagikan Artikel Ini:

Jakarta – Berbagai bencana alam sedang menimpa Indonesia. Mulai dari siklon tropis Cempaka hingga gunung meletus di Bali. Akibatnya sekitar 3,2 juta orang mengungsi dalam tahun ini. Jumlah tersebut meningkat drastis dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Sebagaimana yang dilansir Merdeka.com,”Angka pengungsian tahun ini sampai Jumat (1/12) kemarin sudah sekitar 3,2 jutaan, tahun lalu sekitar 2,7 juta dan 2015 itu 1,2 juta,” kata Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa dalam penutupan Jambore Nasional Relawan Muhammadiyah Ke-2 di Aula Dome Universitas Muhammadiyah Malang(UMM), Minggu (3/12).

“Sehingga terjadi lonjakan jumlah pengungsian. Sangat penting dan sangat mutlak untuk memberikan layanan kepada mereka yang terdampak bencana alam ini,” tambahnya.

Kata Khofifah, cuaca ekstrem masih akan terjadi dan puncaknya sepanjang Desember. Data yang diterimanya, dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 323 Kabupaten/ Kota berisiko tinggi terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam.

Kehadiran relawan Muhammadiyah yang tergabung dalam Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC) dinilainya sebagai energi positif. Hal itu sebagai kesadaran bangsa besar yang juga punya resiko tinggi terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam.

Pihaknya berharap semua bisa membangun sinergitas positif di antara para relawan. Karena sebuah layanan kesehatan harus terintegrasi pada saat tanggap darurat. Begitupun layanan pendidikan, psikososial harus langsung dilakukan di tempat pengungsian.

“Karena sangat banyak di tempat pengungsian menemukan mereka yang trauma, terutama mereka kelompok rentan yaitu lansia, ibu hamil, disabilitas dan anak-anak,” terangnya.

Layanan kesehatan termasuk divisi shelter dan rescue, kata Khofifah, sudah dimiliki oleh MDMC. Sehingga hanya dibutuhkan integrasi dengan lembaga koordinator. Urusan evakuasi komandannya Basarnas, Pengungsian komandannya Kemensos, Pendidikan komandannya Kemendikbud, Kesehatan komandannya Kemenkes dan seterusnya.

“Saya rasa sinergitasnya akan terbangun. Karena tidak semua Kepala Daerah atau Pemda itu aware kalau bencana alam itu harus ada Dansatgasnya. Jadi ada beberapa titik sampai hari ketiga, mereka belum menyiapkan Dansatgas, karena BPBD juga belum terbentuk, misalnya,” katanya.

Tidak semua daerah juga memiliki struktur BPBD yang yang cukup menjangkau titik-titik yang membutuhkan quick respon. Kecepatan layanan, terutama daerah-daerah longsor, rata-rata putus jalan dan jembatannya.

“Karena itu relawan menjadi signifikan untuk memberikan quick respon,” urainya.

Khofifah mengungkapkan, Kemensos memiliki kapasitas mengeluarkan beras cadangan pemerintah guna penanganan bencana di daerah. Sesuai ketentuan dan standart operasional prosedur (SOP), beras cadangan akan dikeluarkan setelah keluar Surat Keputusan (SK) Tanggap Darurat oleh Gubernur, selaku kepala daerah.

Dua propinsi, yakni Bali dan Jawa Barat sudah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Tanggap Darurat. Sehingga berhak atas penggunaan beras cadangan pemerintah untuk bencana alam.

“(Bencana) Gunung Agung Bali itu sudah menggunakan cadangan beras pemerintah Kementerian Sosial. Seperti Jawa Barat per 30 Oktober sudah ada SK Gubernur,” kata Khofifah.

Kata Khofifah, Kemensos memudahkan SOP. Saat terjadi bencana alam, Bupati dan Wakil Bupati Kota/Kabupaten cukup mengeluarkan SK Tanggap Darurat. Setelah SK ditandatangani, maka Pemda bisa mengeluarkan cadangan beras pemerintah hingga 100 ton.

“Kalau itu terpakai, Gubernur diminta mengeluarkan SK Tanggap Darurat. Selanjutnya bisa mengeluarkan sampai 200 ton, sedangkan di atas 200 ton baru SK Mensos,” katanya.

“Dengan begitu cadangan beras yang quota Kabupaten/ Kota bisa digunakan, kalau habis bisa menggunakan quota Pemprov, kalau itu habis baru kuota Kemensos. SOP-nya saya rasa sudah sangat terang,” jelasnya.”

Editor : Rojuli
Poto   : Merdeka.com

Komentari Artikel Ini