POTENSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN MENURUT  UNDANG UNDANG CIPTAKERJA (9)

Bagikan Artikel Ini:

POTENSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN MENURUT  UNDANG UNDANG CIPTAKERJA (9)

Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH***

MASALAH STRATEGIS PENGELOLAAN PERIKANAN

PERMASALAHAN strategis dalam kaitan pengelolaan perikanan yang pentung, khususnya dalam kaitan dengan ikan tangkap ini adalah Penyelesaian Tindak Pidana Perikanan ( TPP ). Dalam kaitan ini, sSalah satu potensi yang menjadi modal pembangunan nasional adalah kekayaan alam yang terdapat di laut Indonesia. Potensi kekayaan tersebut harus dijaga secara maksimal agar dimanfaatkan untuk masa depan pembangunan ekonomi bangsa dan tidak terjadi eksploitasi yang merugikan bangsa dan masyarakat Indonesia. Perikanan merupakan kegiatan yang kompleks dan menyeluruh, yaitu semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya perikanan dan lingkungannya mulai dari tahap  praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

Berdasarkan data dari FAO pada tahun 2001, kerugian negara akibat Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing) di Indonesia diperkirakan sebesar ± 30 Trilyun per tahun. Untuk langkah pencegahan dan penegakan hukum dalam menjaga kekayaan sumber daya perikanan dibutuhkan proses penegakan hukum dengan metode penegakan hukum yang bersifat spesifik, baik hukum materil dan hukum formil tindak pidana perikanan (TPP). Oleh karena itu, TPP dikategorikan sebagai tindak pidana yang bersifat khusus (lex spesialis).

Penegakan Hukum Indonesia

Sesuai dengan amanat KUHAP, maka Pengadilan Negeri memiliki kewenangan untuk semua tindak pidana, temasuk pula untuk tindak pidana perikanan. Pada Ketentuan Peralihan Pasal 106 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, ditetapkan bahwa pengadilan negeri memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara di bidang perikanan, yaitu sebagai berikut:  “Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang.

Perlu dilakukan koordinasi yang lebih optimal antar aparat penegak hukum terkait melalui wadah forum koordinasi penanganan tindak pidana perikanan, agar masing-masing lembaga/instansi dapat berperan serta dalam penegakan hukum tindak pidana perikanan dan kejahatan terkait lainnya di bidang perikanan, melalui PPNS masing-masing.  Pemerintah melakukan perbaikan regulasi dengan menerbitkan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagai pengganti UU Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.

Sebagaimana ditetapkan dalam UU tersebut, penegakan hukum di bidang perikanan harus didukung oleh perangkat hukum yang memadai, baik dari tahap penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Diawali dari penyidikan, dengan adanya 3 (tiga) instansi yang berwenang melakukan penyidikan (Polri, PPNS Perikanan dan TNI AL) dan proses penuntutan dengan mensyaratkan penuntut umum telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan serta pelaksanaan di pengadilan dengan adanya hukum acara tersendiri di pengadilan khusus perikanan.

Sekaitan dengan permasalahn ini kemudian dibentuklah Pembentukan Pengadilan Perikanan. Landasan hukum pembentukan pengadilan perikanan diamanatkan dalam Pasal 71 UU Perikanan yang mengatur mengenai pembentukan pengadilan perikanan yang merupakan pengadilan khusus yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang berada pada lingkungan peradilan umum. Untuk pertama kali pengadilan perikanan dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Pengadilan Perikanan paling lambat dibentuk 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU ini disahkan dan diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004).

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Untuk persiapan pelaksanaan pembentukan pengadilan perikanan, diterbitkan Keputusan Bersama Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Yudisial Nomor: SKB.04/MEN/2005 dan WKMA/Yud/01/SKB/XII/2005 tanggal 5 Desember 2005 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Persiapan Pembentukan Pengadilan Perikanan.

Perkembangan Berikut

Selanjutnya diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang(Perpu) Nomor 2 Tahun 2006 tentang Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pengadilan Perikanan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 71 Ayat (5) UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Diterbitkannya Perpu ini sebagai bentuk perhatian pemerintah untuk memberantas IUU Fishing hal ini dikarenakan dibutuhkan waktu persiapan dan pemahaman tentang kewenangan antar pengadilan negeri, serta memerlukan kesiapan sumber daya manusia, sarana, prasarana dan perangkat penunjang pelaksanaan lainnya salah satunya yaitu perekrutan Hakim Ad Hoc Perikanan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 78 ayat (1) UU Perikanan. Setelah melewati persiapan selama 3 (tiga) tahun, pada tanggal 5 Okotober 2007 peresmian pengadilan perikanan dilaksanakan di Medan oleh Ketua Mahkamah Agung RI.

Peningkatan kasus tindak pidana perikanan khususnya di kawasan Laut China Selatan dipandang perlu membentuk pengadilan perikanan untuk mengadili perkara tindak pidana perikanan di kawasan tersebut. Begitu juga di wilayah timur Indonesia khususnya yang berbatasan dengan negara lain. Indonesia memiliki sumber daya perikanan dan wilayah tersebut merupakan sentra perikanan nasional yang rawan terhadap tindak pidana perikanan baik yang dilakukan oleh kapal perikanan asing maupun kapal perikanan lokal.

Menindaklanjut hal tersebut, maka diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tanggal 17 Juni 2010 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai, serta diterbitkan pula Keppres Nomor 6 Tahun 2014 tanggal 6 Februari 2014 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan Pada Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong dan Pengadilan Negeri Merauke.

Eksistensi Tindak Pidana Khusus

Tindak pidana perikanan merupakan tindak pidana khusus, sebagai tindak lanjut tersebut UU Perikanan pada Pasal 71 ayat (1) dan Pasal 78 mengamanatkan pembentukan Pengadilan Perikanan dan adanya Hakim Ad Hoc Perikanan. Mengingat saat ini hakim ad hoc perikanan yang berjumlah 33 orang akan memasuki purna tugas pada tahun 2020 dan 2022, untuk melaksanakan amanat UU Perikanan, Mahkamah Agung bersama Ditjen PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2019 ini melaksanakan perekrutan Hakim Ad Hoc Perikanan.

Eksistensi pengadilan perikanan yang telah ada selama 12 (dua belas) tahun telah memberikan hal yang positif dalam pemberantasan tindak pidana perikanan, hal ini berdasarkan jumlah putusan dalam perkara tindak pidana perikanan. Tetapi perangkat pengadilan perikanan masih perlu mendapat dukungan dalam hal perekrutan Hakim Ad Hoc Perikanan, memberlakukan hukum acara pemeriksaan singkat dengan argumen kasusnya sederhana dan pembuktian serta penerapan hukumnya mudah, dan pembatasan waktu proses pemeriksaan yang lebih lama daripada yang ada saat ini.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Bahwa sampai  saat ini terdapat sepuluh Pengadilan Perikanan di seluruh Indonesia. Pengadilan Perikanan dibentuk pertama kali pada tahun 2004 di Pengadilan Negeri Jakarta UtaraPengadilan Negeri MedanPengadilan Negeri PontianakPengadilan Negeri Bitung, dan Pengadilan Negeri Tual. Pada tahun 2010 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 2010 dibentuk Pengadilan Perikanan di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai. Kemudian pada tahun 2014 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2014, dibentuk 3 (tiga) Pengadilan Perikanan baru di Pengadilan Negeri AmbonPengadilan Negeri Sorong dan Pengadilan Negeri Merauke. Daerah hukum Pengadilan Perikanan berada sesuai dengan daerah hukum Pengadilan Negeri.

Pengadilan Perikanan diatur dalam Pasal 71 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Pengadilan tersebut merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.

Pasal 78 UU Perikanan mengamanatkan hakim pengadilan perikanan terdiri atas hakim karir dan hakim ad hoc, dengan susunan majelis hakim terdiri atas 1 hakim karir dan 2 hakim ad hoc. Pengadilan Perikanan pertama dibentuk pada tahun 2007 yang berlokasi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual. Selanjutnya pada tahun 2010, dibentuk Pengadilan Perikanan pada PN Tanjung Pinang dan Ranai. Sedangkan terakhir pada tahun 2014, dibentuk Pengadilan Perikanan di PN Ambon, Sorong, dan Merauke.

Berdasarkan data Badan Peradilan Umum (Badilum) MA,  yakni tahun 2016-2018, terdapat setidaknya 1.866 perkara tindak pidana perikanan yang disidangkan di pengadilan negeri, termasuk pengadilan perikanan. Dari jumlah perkara tersebut, sebanyak 800 perkara atau 43 % dari total jumlah perkara disidangkan di 10 pengadilan perikanan yang telah dibentuk sejak tahun 2007.

Sebaiknya, pengadilan perikanan diatur dalam UU tersendiri seperti UU Pengadilan Tipikor, sehingga memiliki kewenangan yang mutlak, memiliki Hakim Ad Hoc disetiap tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Untuk Pengadilan perikanan di daerah-daerah yang rawan pelanggaran TPP perlu dibentuk sehingga perkara TPP dapat ditangani dengan perspektif bidang perikanan secara menyeluruh, dimana Hakim Ad Hoc Perikanan terlibat didalam proses peradilan. Selain itu, memudahkan penyidik dan penuntut umum menghadapi kendala, diantaranya faktor keamanan dan pembiayaan.***(BERSAMBUNG)

*** Notaris di Kota Sampit, Pemerhati Hukum dan Sosial, Dosen STIH Tambun Bungai Kotawarngin Timur Kalimantan Tengah

Komentari Artikel Ini