ASPEK PELANGGARAN HUKUM TINDAKAN DEBT COLLECTOR

Bagikan Artikel Ini:

ASPEK PELANGGARAN HUKUM
TINDAKAN DEBT COLLECTOR

Oleh: Dr. H. Joni. SH.MH.***

DEBT COLECTOR untuk ke sekian kalinya kena batunya, ketika  harus berurusan dengan personil TNI. Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal TNI AD Darat Dudung Abdurachman melakukan klarifikasi. Tegas dinyatakan, bahwa akan menumpas perilaku debt collector yang berulah dan mengarah pada tindakan premanisme, khususnya di wilayah Jabodetabek. Dirinya sudah berkoordinasi dengan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran untuk tidak memberikan toleransi terhadap aksi debt collector yang mengarah ke premanisme dimaksud. Sebagaimana diketahui tidak hanya kali ini debt collector menjadi masalah. Khususnya pada masa pandemi korona ini perilakunya cenderung mengarah kepada kekerasan.

Dispensasi Khusus Masa Pandemi

Tindakan debt collector itu merupakan perilaku premanisme. Secara yuridis khusus untuk kredit kendaraan baik motor maupun mobil dalam masa pandemi korona ini ada toleransi. Dalam kaitan ini pemerintah sudah memberikan restrukturisasi kredit untuk meringankan beban debitur di tengah pandemi Covid-19. Dari OJK ini sudah resmi memperpanjang restrukturisasi kredit hingga Maret 2022. Kebijakan ini diharapkan meringankan debitur di masa pandemi Covid-19. Bahkan atas dasar pengajuan fatwa dari pihak terkait Mahkamah Konstitusi telah memutuskan perusahaan kreditur (leasing) tidak bisa menarik atau mengeksekusi obyek seperti kendaraan atau rumah secara sepihak.

Tepatnya pada 6 Januari 2020 lalu, MK pada Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 menyatakan, perusahaan kreditur harus meminta permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri terlebih dahulu. Penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Kendati demikian, perusahaan leasing tetap boleh melakukan eksekusi tanpa lewat pengadilan dengan syarat pihak debitur mengakui adanya wanpretasi dan sukarela menyerahkan kendaraan.

Artinya bahwa sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya cidera janji (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi obyek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi).

Dengan demikian manakala terjadi pelanggaran, hendaknya warga masyarakat pemilik kendaraan maupun rumah untuk melapor ke polisi jika obyeknya dirampas secara semena-mena tanpa melalui pengadilan. Pihak leasing dianggap melanggar hukum jika melakukan perampasan lewat debt collector. Aturan hukum  tentang masalah ini kiranya menjadi dasar yang harus dipatuhi bersama, sebelum melakukan transaksi agar tidak terkena masalah dan berurusan dengan  pihak berwajib.

Bahwasanya di dalam praktik penagihan kredit, khususnya barang konsumsi semacam kendaraan bermotor yang dilaksanakan oleh agen atau pihak perbankan penggunaan jasa debt collector ini sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan perusahaan pembiayaan atau biasanya disebut leasing juga menggunakan jasa serupa jika  menagih utang kepada nasabahnya. Namun apakah dalam menjalankan profesinya debt collector sudah sesuai peraturan yang berlaku atau bisa dikatakan sudah aman dari ancaman hukum, jawabannya adalah belum tentu.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Aspek Pidana

Pada pelaksanannya masih banyak tindakan Debt collector yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan bahkan mengarah ke  suatu tindak pidana.. Dilihat dari KUHP (Kitap Undang-Undang Hukum Pidana) megenai Tindakan  yang dilakukan oleh Debt collector dalam melakukan tugasnya bisa mengarah ke ancaman tindak pidana yang ancamannya bisa bermacam-macam antara lain dengan Tindakan penganiayaan pasal 351 ayat 1,2,3 KUHP. Sanksi pidananya mulai yang ringan adalah penjara maksimum dua tahun delapan bulan (ayat 1). Pidana penjara 5 tahun (ayat 2). Pidana penjara maksimum 7 tahun ( ayat 3).

Bisa saja terjdi penganiayaan berat, dan penganiayaan berat yang menyebabkan matinya orang lain pasal 354 ayat 1 dan 2 KUHP,  Sanksi pidannya adalah pidana maksimum 8 tahun (ayat 1). Dan pidana penjara maksimal 10 tahun (ayat 2). Sedikit ringan, dengan ancaman karena melakukan perbuatan  tidak menyenangkan pasal 335 ayat 1 dan 2 KUHP, sanksi pidananya adalah pidana maksimum 1 tahun.

Dari sisi kebendaannya, secara pidana bisa dikenakan pasal pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat 1,2,3, dan 4 KUHP, sanksi pidananya adalah pidana penjara maksimum 9 tahun (ayat 1). Pidana penjara maksimum 12 tahun (ayat 2). Pidana penjara 15 tahun(ayat 3). Diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu maksimum 20 tahun (ayat 4). Atau ketentuan tentang pemerasan pasal 368 KUHP, sanksi pidananya adalah pidana penjara maksimum 9 tahun. bisa juga jika bisa dibuktikan karena melakukan pengancaman pasal 369 KUHP, sanksi pidananya adalah pidana  penjara maksimum 4 tahun.atau pengancam  an dimuka umum dilakukan bersama pasal 336 ayat 1 dan 2 KUHP, sanksi pidananya adalah pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan (ayat 1). pidana penjara maksimum 5 tahun (ayat 2).

Jika dilakukan secara kolektif, bida dikenai ketentuan karena melakukan pPenyerangan dengan tenaga bersama terhadap orang atau barangpasal 170 ayat 1 dan 2 KUHP, sanksi pidannya adalah pidana penjara maksimum 5 tahun 6 bulan (ayat 1). Pidana  penjara maksimum 7 tahun (ayat 2 ke 1). Pidana penjara maksimum 9 tahun (ayat 2 ke 2). Pidana penjara maksimum 12 tahun ( ayat 2 ke 3).

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Setidaknya, lebih ringan dari hal itu adalah dengan ketentuan tentang turut serta dalam penyerangan atau perkelahian pasal 358 KUHP, sanksi pidannya adalah pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan ( jika aibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka berat), pidana penjara maksimum 4 tahun ( jika akibatnya ada yang mati).

Bahwa pada dasarnya hubungan hukum dalam kaitannya dengan pemasalahan kredit ini adalah pada lapangan hukum keperdataan. Ada perjanjian, dan jika tidak dipenuhisebagaimana dinyatakan di atas terjadi wanprestasi. Klausulanya pihak Debitur tidak menepati ketentuan yang telah diperjanjian, antara kreditur dan debitur, sehingga terjadilah kemacetan kredit tersebut. Dan solusinya adalah pihak kreditor menggugat pihak debitor ke pengadilan yang bersangkutan.

Dengan demikian penarikan yang secara hukum bisa disebut sebagai tindakan penyitaan sepihak secara paksa yang dilakukan oleh pihak Debt collector mewakili (perusahaan) , secara melawan hukum bergeser menjadi peristiwa pidana. Dasarnya bahwa pihak Debt collector tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penarikan atau  penyitaan sepihak , apalagi dalam penarikan atau penyitaan tersebut pihak debt collector melakukan tindakan  yang melanggar hukum yang mengarah ke suatu tindak pidana sebagaimana disebut di atas.

Pada aspek keperdataannya,  berdasarkan pasal 11 ayat 1 UU No. 42 Tahun 1999 tentang fidusia, benda yang menjadi objek fidusia haruslah didaftarkan ke Kanwil Kehakiman dengan jangka waktu 6 bulan, guna mendapatkan sertifikat fidusia yang dalam sertifkat fidusia tersebut diberi wewenang untuk melakukan parate eksekusi ( vide : pasal 15 ayat 3 UU No.42 tahun 1999 ). Apabila debitur cidera janji, maka pemegang sertifikat fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi) namun untuk penarikan – penyitaan  tetap harus melalui izin dari pengadilan setempat.

Pihak Debt collector tidak akan terancam pidana apabila dalam menarik suatu kendaraan yang telah terbukti macet dalam proses kreditnya, penarikannya dilakukan sesuai peraturan yang berlaku. Tidak main hakin sendiri (eigenrichting), dan tidak  melakukan dengan cara lain misalnya pihak perusahaan/debt colecctor datang secara baik-baik ke pihak nasabah dan melakukan upaya negosiasi dan persuasif yang lebih ke arah pemecahan masalah dengan tidak menimbulkan masalah baru. Memang rumit tetapi aspek procedural ii harusnya tetap ditempuh sebagai  langkah menjaga tindakan yang mengarah kepada munculnya tindak pidana.***

***Notaris, Pengamat Sosial dan Hukum, Dosen STIH Habaring Hurung Sampit Kalimantan Tengah.

Komentari Artikel Ini