BERBINCANG TENTANG IDEOLOGI DAN IDEOLOGI PANCASILA

Bagikan Artikel Ini:

BERBINCANG TENTANG IDEOLOGI DAN IDEOLOGI PANCASILA

Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH.

GELIAT peristiwa sosial politik di tanah air belakangan ini menghangat. Kembali perbincangan tentang ideologi. Tepatnya Ketika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kembali diperbincangkan. Masalahnya bukan terletak kepada kesalahan atau kebenaran. Masalahnya lebih terletak pada pemahaman yang tidak proporsional terhadap masalah ideologi. Dipertanyakan apakah khilafah yang diusung sebagai cita, jargon dan tujuan perjuangan HTI itu ideologi?. Hal ini memerlukan klarifikasi untuk tidak secara subyektif dan cenderung membabi buta meletakan stigma yang salah terhadap khilafah dengan ideologi.

Ihwal Ideologi

Pada tahun 70an, Daniel Bell, guru besar sosiologi Universitas Columbia menulis buku the End of Ideology (matinya ideologi). Ia mendeskripsikan bahwa ke depan, ideologi yang bersifat lokal akan mati. Ideologi lokal itu terutama yang berbau “isme”, seperti sosialisme, kapitalisme, komunisme dan yang lain. Apa lagi ideologi yang lebih kecil dari itu, atau yang berwawasan kenegaraan dalam arti sempit.
Dalam deskripsinya, penyebab dari matinya ideologi itu adalah kehilangan orientasi komunitas, khususnya orientasi yang didasarkan pada paham kenegaraan. Ideologi lokal dalam pandangannya tidak bisa menjawab tantangan modern yang berorientasi pada globalisasi yang ditandai dengan mis orientasi dari masyarakatnya. Masyarakat moderen yang lebih hedonis akan menjadi sebuah komunitas baru tanpa ikatan formal (seperti negara) yang justru berorientasi tidak jelas.

Buku itu mendapat kecaman keras dari para pemikir yang berorientasi status quo. Namun dalam perkembangan berikutnya tesis yang dikemukakan oleh Bell itu seolah menemukan legitimasinya. Berbagai pihak bahkan mengamini ide tersebut, seiring dengan kian konkretnya tatanan baru pada post modern society (masyarakat pasca moderen) yang tak lagi terikat pada tatanan lokal. Kumpulan masyarakat lintas negara seperti Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) adalah contoh konkret hubungan yang bersifat lintas negara, bahkan ideologi yang didasarkan pada kepentingan rezim ekonomi yang lebih mendesak.

Khilafah dan Ideologi

Khilafah berasal dari kata khalafa, dalam kosa kata Arab yang berarti menggantikan. Pemahaman tetang Khilafah sendiri merupakan preposisi dari kata Khalifah. Kata Khalifah diambil berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30. Secara umum, sebuah sistem pemerintahan bisa disebut sebagai Khilafah apabila menerapkan Islam sebagai Ideologi, syariat sebagai dasar hukum, serta mengikuti cara kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan kehidupan social. Dalam referensi Barat system social ini bisa disebut sebagai pemerintahan.

Khilafah bukan hanya nama atau istilah. Dalam referensi Barat yang kita kelanal dalam bidang, pemerintahan, meskipun dengan penamaan atau struktur yang berbeda, namun tetap berpegang pada prinsip yang sama. Rujukannya adalah sebagai otoritas kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia, sebagai satu kesatuan yang dikenal dengan masyarajat Islam (bukan negara Islam). Dengan system atau konsepsi ini, ketika diturunkan pada sebuah Negara Khilafah makna sempitnya ia berdiri di atas ptoritas dan persetujuan seluruh umat Islam, kemudian dibai’atnya seorang Khalifah, maka pendirian Negara Khilafah maupun pembai’atan Khalifah yang kemudian diberi label baru: negara khilafah.

Dalam sejarahnya, Khalifah merupakan suatu gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam paska wafatnya Nabi Muhammad SAW yaitu dengan julukan “Khulafaur Rasyidin” atau Amirul Mu’minin. Berdasarkan julukan ini pula nama Khalifah itu diambil. Jadi, Khalifah itu sendiri merujuk kepada orang yang menjadi pemimpin atau pimpinan tunggal masyarakat Islam pada wilayah tertentu. Dalam sejarah, kedudukan ini sebagai penganti atau menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Khilafah merujuk pada sistem kepemimpinan umat, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang -undangnya mengacu kepada ajaran Islam, baik sebagai system keyakinan maupun sebagai sumber tatanan social yang secara keseluruhan bersumber pada Alqur’an, Hadits, Ijma Qiyas serta sumber lain yang dijadikan sebagai dasar dan diakui oleh syariat Islam.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Secara konkret sistem Khilafah adalah sistem yang diterapkan di era awal-awal berkembangnya agama Islam. Dalam sejarahnya, pasca wafatnya Nabi Muhammad, para sahabat membai’at Abu Bakar untuk menjadi Khalifah. Kemudian Abu Bakar wafat para sahabat membai’at Umar bin Khattab. Kemudian Umar bin Khattab meninggal, para sahabat membai’at Utsman bin ‘Affan. Berikutnya Utsman bin Affan meninggal, para sahabat membai’at Ali bin Abi Thalib. Kemudian sistem seperti ini berubah pada pemerintahan Khilafah Umayyah, Abbasiyah, hingga masa Utsmaniyah.

Sejarah mencatat, setelah sang Khalifah wafat, digantikan oleh anaknya. Sistem ini mirip dengan sistem kerajaan pada zaman sekarang. Tetapi yang membedakannya dengan sistem kerajaan ialah kekuasaan Khalifah merupakan kekuasaan yang ditujukan sebagai perwakilan umat dalam menjalankan pemerintahan dan menerapkan Syariat Islam sebagai dasar hukum dan pemerintahan, sedangkan kekuasaan raja merupakan kekuasaan mutlak yang mempunyai kuasa penuh untuk memerintah negaranya.

Memaknai Ideologi dan Pancasila
Permasalahan ideologi memang sebuah tema besar, abstrak dan kompleks. Berbagai teori akademis dapat dijadikan sebagai dasar untuk elaborasi. Namun tidak ada pembuktian kuantitatif yang secara baku dijadikan sebagai media legitimasi dari berbagai teori itu. Namun demikian, se-abstrak apapun sejatinya dapat dilokalisir berdasarkan pemikiran sederhana yang berdimensi waktu kekinian.

Dalam hal ide Daniel Bell yang berpengaruh luas itu, seolah memperoleh legitimasi dalam tatanan ideologi Pancasila. Tatanan itu bersumber pada dua momentum penting. Pertama ketika Pancasila dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan dengan tafsir yang lebih mengemuka didasarkan pada paham politik temporer. Trauma terhadap kekuatan anti Pancasila yang mengarah pada totalitarianisme, menjadi dasar untuk membuktikan bahwa tesis Bell itu tidak benar.

Kekuasaan pada jaman orde baru misalnya, dinilai menerjemankah Pancasila secara sepihak dan menurut selera penguasa. Pancasila dijadikan sebagai legitimasi dengan kinerja konkret berupa indoktrinasi pada seluruh komponen masyarakat baik pada tatanan formal maupun informal. Formal melalui sekolah pada seluruh jenjang pendidikan. Mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Mata pelajaran Pancasila secara kuantitas mendominasi proses ajar belajar. Informal melalui penataran P-4 bagi seluruh komponen masyarakat baik di Pusat maupun di Daerah. Biaya besar digelontorkan untuk kepentingan pemahaman dan penerapan Pancasila saat itu.

Kedua, Pancasila yang memperoleh legitimasi kekuatan dengan pemberontakan PKI tahun 1965. Pemberontakan itu menyebabkan seluruh elemen bangsa yang mulanya terpecah, menjadi bersatu dan menghadapi tantangan yang sama yaitu komunisme. Ideologi kontemporer yang datang dari negeri Cina dan Uni Sovyet itu secara meyakinkan dibuktikan sebagai anti Pancasila. Pancasila pada era itu menjadi kekuatan legitimate untuk memerangi komunisme. Sumber kekuatannya adalah komunisme yang anti agama, sementara Pancasila dasarnya agama.

Dalam perkembangan berikutnya, Pancasila menjadi keramat dan sakti. Bahkan legitimasi untuk itu dituangkan dalam Tap MPR No: II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa). Ketapan itu berisi jabaran Pancasila yang mematahkan berbagai pendapat kontra tentang tafsir Pancasila. Dalam ketentuannya dinyatakan bahwa ini bukan tafsir Pancasila (Pasal 1). Ketetapan ini pada perkembangannya dicabut Tap No: XVIII/MPR/1998 dan penegasan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Transisi Ideologil

Legitimasi yang seolah alergi terhadap indoktrinasi, dan mengokohkan Pancasila sebagai Dasar Negara itu dituangkan dalam bentuk Undang Undang, yaitu dalam UU No 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketentuan di dalamnya mengatur mengenai Pancasila sebagai mata pelajaran dan mata kuliah wajib bagi peserta didik di semua tingkatan. Namun operasionalisasinya dinilai indoktrinatif.
Pada proses ini, transisi terhadap permasalahan ideologi kemudian diwujudkan dalam bentuk pembubaran berbagai institusi yang dinilai sebagai media indoktrinasi. Tesis sederhananya, bahwa Pancasila bukan hanya milik penguasa yang dapat menterjemankan atau menafsirkan Pancasila sesuai seleranya. Pancasila sebagai ideologi bangsa menjadi milik bersama yang bersifat terbuka.
Disebabkan keterbukaan itu pula, seolah ide Daniel Bell menemukan bentuk konkretnya di Indonesia dengan pergantian UU Sisdiknas. Melalui UU Tentang Sisdiknas yang baru (UU No. 20 Tahun 2003) Pendidikan Pancasila dieleminasi dari kurikulum pendidikan di semua jenjang. Sebagai gantinya adalah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Trauma masa lalu terhadap tafsir Pancasila yang dilakukan rezim orde baru menjadi legitimasi pencoretan Pancasila sebagai mata pelajaran di sekolah. Kendatipun di beberapa sekolah diberikan pelajaran tentang itu, sifatnya hanyalah Muatan Lokal (Mulok). Acuan dasarnya, Pancasila menjadi materi yang digabungkan dalam mata kuliah PKn tersebut.

Khusus di jenjang pendidikan tinggi, masih ada trauma terhadap pelajaran masa lalu yaitu Kewiraan yang dipandang sebagai “militer masuk kampus”. Hal ini menjadikan mata kuliah itu dipandang sebelah mata. Nilai SKS-nya hanya 2, berarti hanya ada satu kali pertemuan dalam seminggu selama 90 menit. Satuan waktu yang tentunya sangat sedikit untuk sebuah mata kuliah.
Kesenjangan dimensi dalam pelaksanaan pendidikan juga tercermin dalam perlakuan terhadap peserta didik. Pendidikan sebenarnya merupakan media untuk perubahan perilaku. Ranahnya adalah psikomotorik. Namun aplikasi untuk menuju pada perubahan perilaku pada umumnya hanya didasarkan pada kinerja kognitif. Hanya pada aspek pembekalan, ceramah yang abstrak dan tentu saja membosankan. Evaluasinya pun tidak jelas.

Ide P4
Siapapun sependapat, Pancasila yang menjadi ideologi terbuka masih relevan untuk persatuan dan kesatuan NKRI. Sampai sekarang, belum dan tidak ada ideologi lain yang dapat dijadikan sebagai media mewujudkan character building untuk anak-anak bangsa. Khususnya anak anak bangsa yang tidak mengalami pergolakan ideologi, lebih khusus lagi perebutan kekuasaan pada masa PKI. Apa lagi revolusi untuk mewujudkan Pancasila sebagai dasar negara tahun 1945.

Ide untuk menghidupkan kembali “semacam” Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) misalnya, kian bergulir untuk mengeleminasi berbagai tantangan khususnya tantangan global menjadi relevan. Namun hendaknya tidak didasarkan pada adanya kekosongan orientasi. Dasarnya keyakinan terhadap keampuhan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.

Daniel Bell boleh menyatakan bahwa ideologi lokal telah mati. Namun Pancasila sebagai ideologi bagi bangsa Indonesia tidak mati. Pancasila akan tetap relevan dan inheren dengan keberadaan NKRI. Oleh karena itu penanaman character building yang substansinya Pancsila masih tetap relevan. Dalam dimensi ini yang harus dilakukan adalah memutakhirkan Pancasila dalam dimensi yang sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu. Paling penting, senantiasa berorientasi pada cita kemerdekaan tahun1945.***

Komentari Artikel Ini