CATATAN KRITIS TERHADAP KINERJA DAN PERAN DPR DALAM PEMBUATAN  UNDANG UNDANG CIPTAKERJA (1 dari 8)

Bagikan Artikel Ini:

 

CATATAN KRITIS TERHADAP KINERJA DAN PERAN DPR DALAM PEMBUATAN  UNDANG UNDANG CIPTAKERJA (1 dari 8)

Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH.

HEBOH dan sengkarut berkenaan dengan proses pembuatan Undang Undang yang kontroversial, yaitu UU N0. 11 Tahun 2020 Tentang Ciptakerja suah berakhir. Saat ii UU tersebut berada paa tahap implementasi, dan secara yuridis sedang diadakan pengujian secara materiil di Msahkamah Konstitusi. Kehebuhan itu memberikan begitu banyak pelajaran. Satu diantaranya menjadi catatan penting untuk kedewasaan parlemen (DPR) kita dalam menjalankan satu diantara fungsinya, yaitu fungsi butgetair (fungsi membuat Undang Undang).

Berikut catatana atas peran DPR kita dalam melahirkan Undang Undang dimaksud, yang disajikan secara bersambung.

 Proses Fungsi  Legislasi DPR

Secara umum, obyyektif dapat diamati bahwa DPR saat ini lebih menjalankan perannya sebagai pemberi stempel terhadap kebijakan pemerintah. Kontrol terhadap usulan Presiden tidak dijalankan secara optimal. Alih-alih melakukan pengawasan terhadap kebijakan Presiden dalam penanganan COVID 19, DPR malah mengurusi legislasi yang seharusnya masih dapat ditunda sampai pandemi berlalu.  dan berharap kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan UU kembali membaik.

Selain hal di atas, DPR juga bisa dikualifikasikan menciderai fungsi repesentasinya. Pembahasan RUU, dalam kaitan ini RUU Ciptakerja dilakukan tanpa membuka dialog dengan publik secara terbuka. Bahkan mendiamkan saat Presiden melalui aparatnya menekan publik menyampaikan aspirasinya. Proses yang tidak transparan dan partisipatif menjadi warna yang tidak dapat dihilangkan dalam menggambarkan proses pembentukan UU Cipta Kerja.

Proses legislasi dilakukan secara tergesa, dan abai untuk menghadirkan ruang demokrasi. Ada 3 argumentasi yang menggambarkan hal tersebut, yaitu pertama, pembahasan RUU pada masa reses dan di luar jam kerja; kedua, tidak adanya draft RUU dan risalah rapat yang disebarluaskan kepada masyarakat; dan ketiga, tidak adanya mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dalam Rapat Paripurna untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU.

Secara teknis, rapat pembahasan RUU Cipta Kerja tercatat sempat dilakukan dalam masa reses dan diluar hari kerja, selain juga sempat dilakukan di hotel, di luar Gedung DPR. Pada Pasal 1 angka 13 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR) menyebutkan bahwa masa reses adalah masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja. Sedangkan Pasal 254 ayat (1) Tatib DPR menyebutkan bahwa waktu-waktu rapat DPR mencakup hari kerja, yaitu Senin sampai Jumat. Pelaksanaan rapat dalam masa reses, di luar waktu rapat, dan di luar Gedung DPR memang dimungkinkan, tetapi atas dasar kesepakatan dalam rapat atau persetujuan Pimpinan DPR.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

 Ketertutupan Prinsip Demokrasi

Tertutupnya ruang demokrasi dalam pembahasan RUU Cipta Kerja disebabkan juga karena ruang partisipasi yang minim. Selain itu, makna partisipasi tidak dapat dirasakan karena masyarakat tidak diberikan informasi yang cukup terkait dengan substansi RUU yang sedang dibahas dan catatan-catatan atau risalah rapat sebelumnya, sehingga sulit untuk dapat memantau rapat dengan baik. Padahal penyebarluasan risalah rapat adalah kewajiban bagi DPR yang tertulis dalam Pasal 302 ayat (3) Tatib DPR yang menyatakan bahwa risalah rapat yang bersifat terbuka dipublikasikan melalui media elektronik dan dapat diakses oleh masyarakat. Penyebarluasan draft RUU kepada masyarakat juga adalah kewajiban dari pembentuk UU yang tercantum dalam Pasal 96 ayat (4) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Ketiadaan draft RUU terbaru yang disebarluaskan menyebabkan adanya berbagai substansi RUU Cipta Kerja yang lepas dari pantauan publik. Hal itu ditambah dengan jumlah pasal yang banyak dan format penulisan RUU Cipta Kerja dengan format omnibus yang menyulitkan untuk dipahami, terutama bagi masyarakat yang tidak terbiasa membaca format peraturan.

Salah satu substansi yang baru masuk belakangan dan kemudian tidak banyak terbahas adalah pengaturan mengenai pajak, yang terkait dengan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo UU Nomor 16 Tahun 2009; UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo. UU Nomor 36 Tahun 2008; dan UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah jo. UU Nomor 42 Tahun 2009.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Dengan proses pembahasan yang tidak transparan, maka potensi penambahan atau pengurangan pasal dalam RUU Cipta Kerja seperti ini sangat mungkin terjadi tanpa terdeteksi. Kendatipun penilaiantidak transparan itu dinilai tidak tepat. Sebab Pemerintah membuat situs jaringan untuk menampung masukan masyarakat dalam penyusunan aturan turunan RUU Ciptaker yang disahkan DPR 5 Oktober itu.

Dari kalangan DPR sendiri, memberikan klarifikasi bahwa sejak dikirimkan oleh pemerintah ke DPR pada 12 Februari 2020, RUU ini terus dibahas secara transparan. Pembahasan itu sudah sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Selanjutnya Bamus ( Badan Musyawarah ) DPR menugaskan Badan Legislasi (Baleg) untuk melakukan pembahasan terhadap RUU ini. Keterbukaan dalam proses itu, bahkan bisa diketahui karena banyak jejak digital dan liputan media.

Klarifikasi yang disampaikan pihak DPR berikutnya, bahwa pembahasan RUU Cipta kerja ini umumnya dilakukan di Ruang Rapat Baleg DPR dan dilaksanakan pada siang hari. Namun demikian pada masa reses, Panja juga menggelar pembahasan RUU ini atas izin pimpinan DPR. Lebih transparan lagi Pimpinan Panja tidak pernah lupa menyampaikan bahwa pembahasan RUU Ini terbuka untuk umum dan bisa diakses lewat TV Parlemen dan Website DPR RI.

Sementara itu dalam proses pembahasan sendiri, Nurul menyatakan Pimpinan Baleg sejak awal sudah meminta kepada Kapoksi (ketua kelompok fraksi) untuk mengirimkan anggotanya menjadi anggota Panja. Namun saat itumemang fraksi Demokrat yang tidak mau ikut dalam pembahasan. Alasannya terdapat pandemi covid 19. kendatipun menjelang akhir pembahasan atau satu setengah bulan menjelang berakhir pembahasan, fraksi Demokrat terlibat terhadap pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah ( DIM ). Pada sisi lain bahwa dalam pembahasan itu sendiri, Panja beberapa kali melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai lapisan masyarakat. Selanjutnya Panja mengadakan rapat pembahasan RUU ini dengan pihak pemerintah.*** (BERSAMBUNG)

Penulis; Notariss, Pengurus Pusat INI (Ikatan Notaris Indonesia) Universitas Diponegoro,  Dosen Sekolah Tinggi Ilmu  Hukum Habaring Hurung Sampit Kalimantan Tengah.

Komentari Artikel Ini