MENGAPRESIASI KEMELUT PADA KOPERASI SAWIT Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH

Bagikan Artikel Ini:

MENGAPRESIASI KEMELUT PADA KOPERASI SAWIT

Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH

LAGI, ke sekian puluh, mungkin ke sekian ratus kali, kemelut menimpa koperasi sebagai soko guru perekonomian versi Undang Undang Dasar 1945. Menarik, karena ini merupakan kemelut yang menimpa sector per-kelapa saewit-a, yang selama ini bisa disebut terjaga dengan baik. Parahnya kemelut ini menjadi perhatian public karena ada unsur pidana yang bersifat khas, dalam arti melibatkan banyak pihak . kemeluut dimaksud menimpa koperasi kelapa sawit di Riau. Substansinya adalah hilangnya 400 hektar lahan plasma milik masyarakat. Hal ini melengkapi polemik antara PT Perkebunan Nusantara atau PTPN V dengan Koperasi Tani Sawit Makmur (Kopsa-M) soal produktivitas kebun plasma dan utang Rp83 miliar. Sinyalemen sementara, bahwa ada oknum di PTPN menjual lahan di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar Riau. Lahan tersebut merupakan pembangunan kebun tahap pertama. Pada hal lahan 400 hektare itu ada dalam akad kredit dengan Bank Agro pada tahun 2003 dengan beban utang Rp13,2 miliar.

Pihak pengurus koperasi terkejut karena kebun tahap pertama (400 hektare dari pembiayaan Bank Agro) tiba-tiba lenyap dari pembukuan. Hanya menyisakan kebun tahap kedua dan ketiga. Ironisnya, banyak anggota koperasi tahu kebun tahap pertama yang tiba-tiba hilang dalam pembukuan itu sudah dikuasai pihak ketiga, berbadan hukum perusahaan kebun sawit juga. Sementara konfirmasi yang dilakukan terhaddap penguasa lahan baru, menyatakan bahwa tidak ada kebun tahap pertama, tapi yang ada hanya kebun tahap kedua dan ketiga. Untuk iktu pengurus koperasi sudah mengadukan persoalan ini ke berbagai lembaga di Provinsi Riau. Sementara hasilnya nihil.

Kemelut Konvensional
Kemelut kopeerasi persawitan ini makin sempurna dan seolah sampai puncaknya saat pandemic korona yang secara signifikan mempengaruhi perkembangan dan operasionalisasi berbagai sektor kehidupan, khususnya sektor perekonomian dan secara lebih khusus sector perkebunan kelapa sawit. Masifnya perkembangan jumlah kasus Covid-19 di Indonesia berdampak sangat signifikan terhadap sejumlah sektor industri. Tak hanya menyerang sektor industri skala besar, dampak Covid-19 juga sangat dirasakan oleh pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Dampak yang paling dirasakan oleh pelaku UMKM, misalnya yakni terjadinya penurunan permintaan (26,8%), terkendalanya pemasaran (24,9%), ketersediaan/ akses bahan baku (23,8%), SDM (23,5%), serta alat produksi, distribusi, sarana, dan prasarana (1%). Lebh khusus dampak yang muncul kemudian adalah masifnya konflik pengelolaan koperasi, yang muncul ke permukaan. Satu diantanya yang menimpa koperasi di Riau sebagainana disampaikan di atas. Mengapa hal ini menarik sekalkiogus memperihatinkan, sebab andalan sektor koperasi yanhg selama ini di sektor persawitan dipandang terkonsolidasi dengan mantap teernyata rapuh juga.

Hal d atas tentu bukan sebagai legitimasi terhadap terjadinya penyimpangan. Bagaimanapun sudah ada aturan hukum yang dijadikan standar operasional. Untuk itu hukum harus ditegakkan tanpa adanya klausula yang menyebabkan lemahnya penindakan. Toleransi bisa diberikan sepanjang klausula yang dijadikan sebagai dasar pengelolaan benar benar membuktikan bahwa terjadinya penyimpangan itu karena kondisi darurat, atau proce majeur. Tanpa itu kiranya tidak ada toleransi yang jika diberikan akan mempengaruhi mekanisme penegakan hukum dan berakibat buruk pada sektor koperasi kelapa sawit.

Sebagai bahan pendukung, bahwa data Kementerian Koperasi dan UMKM mencatat, sekitar 5,6 persen dari 67 juta UMKM yang ada di Indonesia merupakan UMKM di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Meskipun hampir semua sektor industri terdampak Covid-19, kelapa sawit tetap bertahan dan tercatat paling tangguh sebagai sektor komoditas industri yang menjadi penolong perekonomian Indonesia. Inilah yang menjai catatan dasar, kemelut yang merupakan sengkarut di perkoperasian kelapa sawit di Riau begitu mengkhawatirkan dunia oerkoperasian kelapa sawit. Meski begitu, tak dapat dimungkiri, pada UMKM kelapa sawit masih terdapat beberapa kendala yang memengaruhi jalannya kegiatan operasionalisasi, yakni faktor eksternal (harga TBS yang fluktuatif) dan faktor internal di sekitar kebun untuk mengurangi penyebaran Covid-19, tak urung kesemuanya ini memberikan saham besar terhadap terjadinya kemelut.

Pada hal proteksi yang disampaikan untuk menjaga keberlangsungan UMKM termasuk di sektor sawit tersebut, tak kurang bahkan bia diksebut begitu kuat. Milsanya Kementerian Koperasi dan UMKM mengeluarkan kebijakan dan program. Program yang bersifat protektif dimaksud, pertama, Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan pada UMKM aktif by name by address dengan nominal Rp2,4 juta per UMKM kepada 12 juta UMKM di Indonesia. Kedua, pelatihan online untuk meningkatkan kapasitas produksi UMKM.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Pada sisi lain, pihak pemerintah juga menjalankan standardisasi dan sertifikasi produk pada UMKM yang bersangkutan agar produknya memiliki daya saing tinggi. Sebagai penolong perekonomian, hal ini dimaksudkan agar produktivitas kelapa sawit dapat terus ditingkatkan dan harus dijaga kualitas dan kuantitasnya sesuai dengan standar RSPO dan ISPO. Termasuk pengawasan terhadap hal mendasar yaitu beradaptasi dengan New Normal, penerapan protokol kesehatan, digitalisasi perkebunan menjadi kunci untuk mengurangi kontak fisik, pada musuim pandemic korona ini.

Lemahnya Pengawasan

Memang berbagai pihak mengapresiasi hal di atas, namun menyayangkan tidak menyentuh sektor perkoperasian, khususnya dalam hal lemahnya pengawasan. Akibatnya muncul permasalahan yang kemudian merambat ke sektor lain, dan tentu saja itu memerlukan solusi secepatnya. Tanpa solusi dan Tindakan konkret segea, ibarat penyakit akan bertambah meluas dan pad akhirnya sektor perkoperasian kelapa sawit makin merana.

Pengawasan yang seharusnya dilakukan meliputi dua hal. Pertama, pengawasan secara umum kepada seluruh sektor dalam per-kelapa sawit-an. Hendaknya diverifikasi dan segera dicarikan bagaimana solusinya. Sec
ktor koperasi termasuk yang sangat memerlukan pengawasan dan mekanisme control yang komprehensif. Hendaknya koperasi di Riau itu dijadikan sebagai satu starting point untuk melakukan control terhadap sektor perkoperasian kelapa sawit di seluruh tanah air. Tanpa bermaksud prejudice, bukan mustahil sim salabim terhadap asset koperasi yang diperoleh dan dibangun dengan susah payah ternyata begitu mudah raib.

Verifikasi dan audit secara profesional ini harus dilakukan demi masa depan perkoperasian pada umumnya, dan koperasi kelapa sawit secara khusus. Hal ini terkait pula dengan bantuan dari pemerintah secara konkret terhadap pihak koperasi kelapa sawit yang juga memerlukan pengawasan secara cermat.***

Komentari Artikel Ini