POTENSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN MENURUT  UNDANG UNDANG CIPTAKERJA (4)

Bagikan Artikel Ini:

POTENSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN MENURUT  UNDANG UNDANG CIPTAKERJA (4)

Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH***

PROBLEMA LOGISTIK DALAM PENGELOLAAN POTENSI PERIKANAN

 

BAHWASANYA dari kedua kelemahan itu merujuk kepada  kebutuhan logistik perikanan yang harus dipenuhi dengan baik. Logistik dimaksud  berkaitan dengan pergerakan barang, jasa, dan informasi terkait yang meliputi pemrosesan pesanan, transportasi, pengelolaan persediaan, pergudangan, distribusi, dan sistem informasi. Manajemen logistik bertujuan untuk menyampaikan barang secara tepat waktu barang/produk, tepat tempat, tepat waktu, tepat kuantitas, tepat kualitas, tepat kondisi, dan dengan biaya yang tepat. Logistik merupakan salah satu faktor penentu dalam pengelolaan produk perikanan, terutama karena ikan merupakan komoditas barang yang cepat rusak (perishable). Tingkat kesegaran ikan sangat bergantung pada kecepatan dan ketepatan penanganan penanganan logistiknya. Tingkat kesegaran ikan sangat memengaruhi harga jualnya.

Di dalam Sistem Logistik Ikan Nasional mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 5 Tahun 2014, tercantum empat komponen pengelolaan logistik perikanan, yaitu: pertama, soal  Pengadaan, yang mencakup: bahan dan alat produksi yang bersumber dari produsen, berupa antara lain pakan, benih, obat ikan, alat penangkapan ikan, es, dan bahan bakar minyak; pengadaan ikan yang bersumber dari usaha penangkapan ikan dan usaha pembudidayaan ikan; dan/atau pengadaan produk perikanan yang bersumber dari usaha pengolahan ikan.

Kedua soal penyimpanan, yang mencakup: penyimpanan ikan dan produk perikanan, berupa antara lain gudang beku (cold storage), gudang penyimpan dan mesin pembeku; penyimpanan ikan hidup berupa antara lain kolam ikan/tambak; dan/atau penyimpanan bahan dan alat produksi, berupa antara lain gudang penyimpanan.

Ketiga, soal transportasi, yang mencakup: transportasi ikan dan produk perikanan, berupa kapal pengangkut ikan, pesawat udara, kendaraan angkut ikan yang berpendingin maupun tidak berpendingin; transportasi ikan hidup berupa kapal pengangkut ikan, pesawat udara, kendaraan angkut ikan hidup; dan/atau transportasi bahan dan alat produksi berupa kendaraan angkut.

Keempat, soal distribusi, yang mencakup: distribusi ikan dan produk perikanan, berupa antara lain depo pemasaran ikan, pasar ikan, dan outlet pemasaran hasil perikanan; dan/atau distribusi bahan dan alat produksi, berupa antara lain toko dan kios. Penanganan logistik perikanan dibutuhkan pada semua tahapan dari titik produksi hingga titik konsumsi perikanan (end-to-end). Penanganan logistik diperlukan mulai dari lokasi penangkapan ikan (kapal nelayan), tempat pendaratan ikan (TPI)/pusat pemasaran dan distribusi ikan (PPDI), pusat pengumpulan, pelabuhan muat, pelabuhan tujuan, pusat distribusi, hingga tempat konsumen (unit pengolahan ikan/UPI, pasar ikan, dan horeka). Penanganan logistik juga diperlukan dalam proses transportasi antar lokasi tersebut.

Daya Beli Lemah

Permasalahan lain yang timbul adalah kurangnya daya beli masyarakat terhadap produk perikanan. Keinginan makan ikan masyarakat Indonesia termasuk rendah jika dibandingkan dengan negara lain, hal ini terlihat dari konsumsi ikan per kapita Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan negara Asia lain. Penyebab kurangnya konsumsi ikan per kapita adalah kondisi ekonomi masyarakat, dan masih sulitnya mendapat ikan di daerah pelosok.

Oleh karena arus distribusi lambat, ikan segar tidak lagi murah sampai ke tangan konsumen. Kurang berkembangnya pasar domestik perikanan tangkap di Indonesia menyebabkan usaha perikanan sangat tergantung dengan negara-negara pengimpor. Sementara itu pada pemasaran ekspor sendiri para pengusaha juga mengalami banyak kendala seperti keterlambatan pembayaran, hingga ditolaknya produk perikanan yang kadang terjadi bukan dengan alasan yang jelas.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Selain itu kurangnya konsumsi ikan per kapita juga dapat menurunkan kualitas masyarakat Indonesia, hal ini karena ikan merupakan sumber protein yang tersusun atas asam amino esensial yang lengkap dan mudah dicerna dibanding protein dari sumber hewani lainnya. Selain itu lemak pada ikan mengandung lemak tak jenuh yang biasa disebut omega 3. Dimana salah satu dari keunggulan omega 3 pada ikan adalah dapat meminimalisir penyekit degeneratif seperti jantung koroner. Selanjutnya, saat ini juga sedang santer diberitakan mengenai keamanan pangan di negara ini, termasuk salah satunya pengamanan kualitas ikan.

Permasalahannya adalah rendahnya tingkat pemahaman nelayan ataupun pengusaha ikan dalam pengamanan kualitas ikan. Permasalahan tersebut akan berdampak terjadinya penggunaan bahanbahan berbahaya untuk mengawetkan atau mengolah ikan. Hal ini diperparah dengan rendahnya pengawasan terhadap penjualan bahan-bahan tidak layak tersebut di pasaran bebas.

Akses Permodalan

Akses permodalan usaha perikanan tangkap masih terbatas Permasalahan yang terjadi saat ini adalah sulitnya prosedur perbankan bagi sumber daya ikan yang bertanggungjawab terkait dengan kurangnya kualitas nelayan, sehingga terjadi banyak kesulitan untuk melakukan alih pemahaman maupun alih teknologi. Kemudian dari sisi sosial-ekonomi, tingkat kesejahteraan nelayan buruh dan skala kecil di Indonesia juga akan sulit untuk ditingkatkan karena mereka mempunyai kemampuan yang terbatas dalam manajemen usaha. Sebagai akibatnya,  di saat musim panen akan menghamburkan pendapatannya dan di musim panceklik mencari pinjaman untuk menutupi kekurangan pendapatannya.

Kenyataan secara global adanya  IUU Fishing yang terus berlangsung. Penyebab dari hal ini adalah bahwa  secara umum petugas pengawas sumber daya kelautan dan perikanan (PSDKP) belum berfungsi secara optimal. Selain itu di banyak daerah Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) belum berfungsi dan belum berkoordinasi dengan PSDKP dengan baik. POKMASWAS sendiri seharusnya dapat menjadi informasi awal yang baik bagi kegiatan illegal yang dilakukan di laut, baik destructive fishing maupun pelanggaran oleh negara lain. Sarana dan prasarana yang digunakan untuk penegakan hukum di laut sangat kurang.

Para pengawas belum dilengkapi dengan sarana transportasi dan peralatan yang memadai. Hal ini cenderung tidak dapat berbuat banyak walaupun melihat adanya pelanggaran di laut terutama yang dilakukan oleh armada asing. Manipulasi ukuran tonage (GT) dan perijinan (SIPI dan SIKPI) kapal ikan adalah hal yang sangat terkait dengan tidak terlaporkannya kondisi armada penangkapan yang konkret atau sesungguhnya di Indonesia. Hal ini menyebabkan sulitnya untuk membuat kebijakan berkenaan dengan jumlah armada yang boleh beroperasi sebagai input control dalam pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan.

Manipulasi Ukuran Kapal

Di sini terjadi manipulasi di dalam ukuran kapal, misalnya kapal 195 ton dicatat 98 GT (Gross Tonnage). Di antara dampaknya, misalnya untuk landing dan produksi tidak benar, terjadi pemalsuan data landing. Dengan data landing dipalsukan maka otomatis pendapatan kapal turun dan pajak PNBP juga turun. Dampak berikutnya adalah ke penerimaan negara. untuk itu, secara yuridis tentang PNBP di sektor kelautan dan perikanan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015. Sesuai pasal 7, tarif PNBP pada perikanan tangkap dihitung berdasarkan perkalian antara persentase dengan produktivitas kapal, harga patokan ikan, dan ukuran Gross Tonnage (GT) kapal. Dengan manipulasi landing data tadi maka skala ekonomi Indonesia tampak kecil. Dan gawatnya lagi, data tersebut akan diambil Badan Pusat Statistik sebagai pencacah data berdasarkan data yang sebenarnya. tentu saja hal itu akan membuat produk domestik bruto (PDB) Indonesia turun.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Manipulasi ini banyak dilakukan pemilik kapal dengan alasan sulitnya mengurus birokrasi perijinan ke tingkat lebih tinggi jika melaporkan ukuran kapal yang sebenarnya. Selain itu, hal tersebut juga dilakukan oleh pemilik kapal untuk menghindari pajak dan sebagainya. Kegiatan illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia memberikan dampak negatif terhadap dua sektor penting yaitu lingkungan dan pendapatan negara.

Dengan adanya kegiatan illegal fishing sumber daya ikan terkuras tanpa dimanfaatkan dengan baik sehingga akan mengalami degradasi dan overfishing. Sedangkan dari sektor pendapatan negara terjadi kehilangan nilai devisa dari sub sektor perikanan tangkap yang cukup besar dan berkurangnya nilai PNBP perikanan tangkap.

Sementara itu dipahami bahwa sebagian besar kegiatan perikanan tangkap di Indonesia (89%) merupakan skala kecil dengan ukuran kapal kurang dari 5 GT yang beroperasi di hampir semua pesisir Indonesia. Hal ini utamanya disebabkan kondisi sosial masyarakat peisisir yang memiliki berbagai keterbatasan baik dari segi ekonomi maupun SDM.

Pada sisi lain, permasalahan mendasar yang menjadi hambatan dalam pengelolaan potensi perikanan adalah  belum diterapkannya kebijakan “limited access” secara menyeluruh, sehingga hingga saat ini belum terjadi pembatasan baik armada penangkapan, alat tangkap maupun jumlah dan jenis tangkapan. Permasalahan yang terjadi di atas menyebabkan terjadinya dampak negatif berupa terganggunya ekosistem pantai yang merupakan sumber trophic level, sehingga dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan kehancuran sumberdaya bahkan kepunahan ikan.

Lemahnya kapasitas kelembagaan pengawas dan penegakan hukum Kemampuan kapasitas kelembagaan pengawas perikanan masih terbatas, baik dari sisi sarana, SDM, maupun dana operasionalnya. Hal ini menjadi salah satu kendala untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal, apalagi dengan cakupan wilayah perikanan tangkap yang sangat luas, tentu memerlukan kapasitas kelembagaan pengawasan perikanan yang kuat. Kemudian, ditambah lagi dengan belum optimalnya koordinasi antar instansi terkait dalam pengendalian sumber daya ikan, yang menyebabkan banyaknya celah untuk terjadi pelanggaran di laut, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Kapasitas kelembagaan penegakan hukum di bidang perikanan tangkap juga belum kuat, tegas, dan independent (mandiri), karena keputusannya seringkali masih dipengaruhi oleh oknum-oknum penguasa.

Hal di atas terjadi, karena Pemerintah belum memberikan dukungan penuh kepada lembaga penegakan hukum tersebut, sehingga oknum-oknum penguasa masih bisa dapat mempengaruhi dalam proses penegakan hukumnya. Bila permasalahan ini tidak segera diatasi maka pada tahap berikutnya menimbulkan dampak akan maraknya aksi illegal fishing, yang tidak hanya dilakukan oleh kapal ikan asing, tetapi juga oleh kapal ikan Indonesia. Selain itu, karena kurangnya keterpaduan dalam melakukan operasi pengawasan, maka biaya operasi pengawasan akan menjadi mahal dengan hasil yang kurang efektif. Kemudian, investasi usaha perikanan tangkap akan menurun, karena tidak terjamin dan terlindunginya usaha investasi usaha perikanan tangkap yang legal.***(BERSAMBUNG)

*** Notaris di Kota Sampit, Pemerhati Hukum dan Sosial, Dosen STIH Tambun Bungai Kotawarngin Timur Kalimantan Tengah

Komentari Artikel Ini