MELAWAN TIRANI EKOLOGIS

Bagikan Artikel Ini:

MELAWAN TIRANI EKOLOGIS
_(Sampai Kegersangan Tepat Menghantam Jidat Cukong yang Mengangkang_)

0leh: Elviriadi (LHKP PP Muhammadiyah)

Masa lalu dan masa depan, berjalan di antara pikiran besar dan tindakan besar dari sedikit orang. Ada agen sejarah yang bermain. Tiba tiba sejarah manut atas guidance dan fikiran orang orang yang memerankan aktor itu. Syahdan, perjalan waktu mengukir tinta kelam sejarah tanah air indonesia bersama hutan, sumberdaya alam dan khazanah ekologis yang bergores luka. Semua hendak dan telah luluh lantak, biodiversiti tersentak, ulah aktor yang membuat kerimbunan berubah ‘botak’.
Sejarah Orde Baru yang memilih menghabisi hutan dan segenap isi, atas nama inventasi dan ekonomi, adalah satu diantara akibat aktor pembisik yang menyesatkan dan tak bernurani. Riau, Jambi, Ogan Kemiring Ilir, ditengah garis khatulistiwa itu, tersebab hegemoni ekonomi harus mengundur diri, adat budaya menepi, tergerus regulasi yang mencabik sistem kultural religi yang ribuan tahun menjaga daun, kayu, kutu, cacing, ulat bulu dan flora sepenuh hati.

Sang Pecundang (baca : cukong) yang sedikit telah menjadi tirani. Tirani minoritas. Tirani Ekologi. Berkelebat cepat keluar masuk ruang ber-AC para pejabat seraya “memaksa” menguasi segala hajat, dan masyarakat melayu Riau yang menjunjung adat jadi terperanjat, disekeliling udara tersumbat, asap menjilat jilat menghiasi angkasa yang menambah luka pribumi yang melarat.

Diantara riuh rendah bergelora, negeri kami bernama Riau bin Sumatera, kini telah bagai kampung diamuk burung garuda. Dimanakah para punggawa, yang suka selfie sambil tertawa di atas boat karet kepedihan banjir bandang akibat “bid’ah” tata ruang? Inikah “Berkelanjutan” yang disepadankan dengan kata “Pembangunan” ? yang sering digaungkan dan diagungkan? Pembanguan Berkelanjutan itu ternyata membuat rakyat berkelojotan, atau sebut saja berkelanjutan dalam kelojotan. Atau membangun kelojotan kolektif masyarakat indonesia yang –karena dikolonialisasi berkali-kali- memang “tabah” daam semua perubahan.

Para cendikiawan dan intelektual memilih bungkam. Penderitaan ekologis direnda sebagai tema penelitian, jurnal terindeks scopus atau studi (dengan tanpa alas perjuangan ilmiah kena penyakit malas bin copy paste) dan membahasnya dalam deretan panjang Annual Conference, Summit, lokakarya, seminar nasional, pertemuan pakar, tetapi kering dari kepedulian yang sesungguhnya dibutuhkan umat.
Untung saja, rahim indonesia masih terus melahirkan anak bangsa yang mau meng-aktor dalam lintasan sejarah. Dimasa lalu ada Bung Hatta, Sutan Syahrir, STA (Sutan Takdir Alisjahbana, Agus Salim, Tan Malaka, dan sederet nama besar yang sekuat tenaga menggeret arah perjalanan bangsa kepada cita cita merdeka, adil makmur, mengabdi, mencipta, mendobrak naluri mbalelo, serta memelopori altruisme.
Ditahun tahun ini, indonesia masih punya Adi Sasono almarhum atau yang masih hidup bugar bang Rizal Ramli, Busro Muqaddas-Abdullah Hehamahua yang accademic qualified, aktivis, idealis juga pemberani. Waktu saya kuliah di Malaysia, ada orang penting di World Bank nanya, Bung Rizal Ramli masih pegang jabatan di negara anda? Rupanya negara maju sekelas Amerika, Eropa apalagi Asia pernah ketar ketir waktu bang Rizal Ramli jadi Menteri Ekonomi di era Habibie.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Alih alih tiarap dan sembunyi diri, orang orang sebesar Rizal Ramli, Adi Sasono, Alvin Lim, Din Syamsudin,dan pelaung keadilan selalu hadir menepis kabut determinasi para tirani ekologi yang suka berkonspirasi. Kejahatan disambut oleh tanpa dosa, pakaian necis retorika penuh dusta. Ditopang UU rentenir cukongis demi loloskan kuasa abadi, seraya mulutnya berkata, ” ana robbukumul a’la …

Untungnya, sejarah tidak mencatat “keberhasilan” dari (meraih) kekuasaan, dari meraup keuntungan materi lantaran menang tender (ekonomi), dari perampasan tanah rakyat melalui SK pejabat hegemonik, atau sejumlah upaya oportunisme politik yang berhasil menghancurkan para pejuang (kriminalisasi) seraya mentulikan telinga pada suara suara lirih kantong kantong kemiskinan pedesaan.

Akan tetapi, yang dikenang dan dipuja kemanusiaan dan akal budi, tak lain dari narasi kebaikan dan perjuangan menegakkan nurani, menjadi penyambung jalan para Nabi, para resi ekologi.

Kehancuran abad milenial ini adalah sebagai akibat hilir dari pembangunan yang tanpa analisis memadai, tanpa mengkaji masyarakat lokal (local knowledge), sistem sosial, pure science, ilmu hayat, dan memahami apa arti kata “pembangunan”, dan itu sama dengan pembangunan abal abal. Itulah mengapa Soedjatmoko, menulis buku “Dimensi Manusia dalam Pembangunan” sewaktu beliau menjabat Kepala Bappenas RI bingung melihat pembanguan indonesia yang ambigu-dehuman.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

*Aksi Sejarah*🌴🌴💥🔥🔥

Apa yang dilakukan penguasa, birokrat hari ini, untuk memulihkan ekosistem lingkungan dan kehutanan kita, mengambil perspektif para pemikir besar, hanyalah mengutak atik hal hal permukaan. Yang diperlukan sebenarnya adalah aksi sejarah. Tindakan besar. Kebijakan yang mendasar. Ide dan keberanian dari para pemangku negara. Saya menyaksikan, dan juga rakyat indonesia pasti merasakan, sepertinya negara/pemerintah indonesia “kalah” dengan pengusaha. “Mengalah: dengan perusahaan yang “ngelunjak” karena diberi laluan istimewa dalam mengharu biru sumberdaya alam dan degradasi lingkungan hidup.

Seperti lingkaran setan, entah dari mana sumber “ketakutan” itu, yang jelas terjadi “kegamangan kolektif” para elit pemerintahan untuk bertindak dalam paradigma aksi sejarah tadi. Apakah demokrasi membutuhkan uang sehingga godaan perusahaan begitu indah dan lezat konspirasi yang disebut Oligarkhi?,

Apakah karena idealisme itu membutuhkan jiwa “Rizal Ramli” dan selaksa Hehamahua? Saya kira karena hedonisme dan cinta harta berpadu dengan minimnya asketisme bin keberanian menegakkan kebenaran. Juga –seperti wawancara saya di media update harian, karena manusia (tuan pemangku negeri) itu sungguh sungguh MENGAGUNGKAN KEBATHILAN. Menganggap kebathilan itu sedemikian kuat (tetapi juga nkmat), rapi (tapi rapuh-bila tampil al haq), penuh beking, dan bisa memaksa seseorang letak jabatan?

Riau, Kalimatan, Sumatera, Sulawasi, bahkan Pulau Jawa, telah sejak lama mengalami “borok” ekologis yang memedihkan. Jika dibiarkan, tanpa aksi sejarah yang mumpuni, maka anak cucu kelak akan menjalani kehidupan terlunta lunta. Konflik horizontal menumpaskan nyawa jelata. Hilang martabat, miskinlah negara. Hutang berlipat, rakyat pun menderita. Dan Rempang Batam adalah saksi nya. Hari ini dan disini. Kelak kami rakyat tetap berdiri, tak surut setapak jua. Menanti. Sampai kegersangan tepat menghantam jidat cukong yang mengangkang.***

Komentari Artikel Ini