CATATAN KRITIS TERHADAP KINERJA DAN PERAN DPR DALAM PEMBUATAN  UNDANG UNDANG CIPTAKERJA (2 dari 8)

Bagikan Artikel Ini:

CATATAN KRITIS TERHADAP KINERJA DAN PERAN DPR DALAM PEMBUATAN  UNDANG UNDANG CIPTAKERJA (2 dari 8)

Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH

 

Norma Dari Kinerja DPR

BAHWA Pemilihan umum (Pemilu) menjadi salah satu parameter bagi sebuah negara yang menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Asas utama didalamnya adalah terlaksananya pemerintahan yang didasarkan pada konsepsi pemilihan umum dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam menyelenggarakan Pemilu, suatu negara demokratis seperti Indonesia, akan menyelenggarakan Pemilu selama dua kali, pertama adalah untuk memilih anggota legislatif yang akan duduk sebagai wakil rakyat di parlemen, dan kedua adalah untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang duduk sebagai eksekutif.

Mekanisme semacam ini juga berlaku hingga di tingkat daerah, yaitu dengan memilih kepala Sebagai salah satu institusi publik dengan status “yang terhormat”, anggota DPR memiliki kewajiban moral, etik, dan hukum untuk menjaga dan melindungi institusi mereka. Semakin tinggi posisi politik yang dipegang seorang anggota, kian tinggi pula tanggung jawab menjaga kehormatan institusi.

Sadar dengan segala kemungkinan yang dapat merusak makna hakiki status “yang terhormat” itu, DPR berupaya mengantisipasinya dengan membuat kode etik. Dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik. Di dalamnya dinyatakan, kode etik adalah norma yang wajib dipatuhi setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas institusi DPR. Artinya, dengan ditahbiskannya kewajiban menjaga status yang terhormat itu, bagi yang terbukti melakukan pelanggaran, anggota DPR dapat diberi sanksi berat berupa pemberhentian sementara minimal tiga bulan.

Sekaitan dengan hal ini, DPR mempunyai beberapa alat kelengkapan yang salah satunya adalah Badan Kehormatan (selanjutnya disebut BK) yang tugas dan wewenangnya menjaga dan mengawasi para anggota DPR dalam melaksanakan kewajibannya sehari-hari berdasarkan kode etik atau peraturan internal yang sudah disepakati bersama, yakni Peraturan DPR-RI Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Kode Etik dan Peraturan DPR-RI Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Tata Beracara Badan Kehormatan.

Dasar hukum Badan Kehormatan sebagai alat kelengkapan tersebut termaktub dalam Pasal 81, ayat (1), huruf g, Pasal 123, 124 Ayat 1, 2 dan seterusnya, serta pasal 207 dan seterusnya pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Badan Kehormatan bekerja dan kode etik adalah pedoman perilakunya. Dalam pelaksanaannya, BK memiliki dua sanksi yang sangat penting, yaitu sanksi moral dan sanksi hukum. Sedangkan sanksi dalam tata tertibnya terdiri dari beberapa sanksi, yaitu teguran lisan, teguran tertulis, pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan DPR-RI, pemberhentian dari pimpinan DPR-RI atau pimpinan alat kelengkapan DPRRI, pemberhentian sementara; atau pemberhentian sebagai Anggota DPR-RI.

Integritas Anggota DPR

Sebagai pejabat negara, DPR harus bersifat negarawan yang bijak dan mempunyai moral yang luhur, patuh terhadap hukum dalam menjalankan tugas, karena pada sejatinya ia adalah pemimpin dalam lembaga perwakilan yang menjadi contoh masyarakat. Syarat seorang pemimpin dalam menjaga wibawa institusinya, pertama, kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk tindakantindakan hukum yang pasti; kedua, kepemimpinan tersebut diharapkan dapat menjadi tauladan bagi lingkungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai integritas kepribadian orang yang taat terhadap aturan.

Oleh sebab itu, keberadaan Peraturan DPR-RI Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Kode Etik DPR ini sangat perlu sebagai pengawasan tertulis, guna mencegah terjadinya pelanggaran hukum dan hal-hal yang berkaitan dengan etika, moral serta kehormatan anggota parlemen. Bila sebuah negara dijalankan oleh pejabat yang tindakannya sesuai dengan hukum dan perilakunya terpuji, niscaya rakyat pasti akan meniru kebaikannya dan akan berdampak positif pada kemakmuran dan kesejahteraan negara. Pentingnya sebuah etika dalam menjalankan kekuasaan legislatif, akan penulis kupas melalui pendekatan perundang-undangan sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan DPR-RI Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Kode Etik.

Kesempurnaan sebuah peraturan, jika tidak diterapkan, maka akan terjadi kesenjangan yang tidak dapat ditutupi mengingat peraturan yang ideal sudah disusun dan disepakati bersama serta tercermin nilai-nilai keadilan dan kebenaran didalamnya. Walaupun peraturan tersebut diatas sudah disusun dan disepakati bersama, terkadang bahkan pasti kerap terjadi pelanggaran. Tugas berat BK yang memutus ada dan tidaknya praktik-praktik yang keluar dari aturan kesepakatan. BK juga berperan dalam menindak para anggota DPR jika diindikasi melanggar hukum dengan berpedoman pada Peraturan DPR-RI Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Kode Etik dan menindaklanjuti permasalahannya sesuai dengan peraturan tersebut. Kedudukan Peraturan DPR-RI Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Kode Etik ditopang oleh Peraturan DPR-RI Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Tata Beracara Badan Kehormatan DPR-RI.

Peraturan tersebut secara langsung menguatkan posisi BK sebagai pengadilan internal didalam lembaga legislatif, mengingat pasal-pasal dalam Peraturan DPR-RI Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Kode Etik merupakan pedoman perilaku anggota dewan dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Hubungan antara DPR, DPD dan DPR sangat erat. Di dalam dimensi kekuasaan dapat dinyatakan bahwa ketiga lembaga itu berbagai kekuasaan dalam bidang legislatif sebagai bagian dari upaya untuk lebih mengakomodasikan aspirasi rakyat di Indonesia.

Guna pemahaman keberadaan DPD, rujukan substantifnya adalah ketika dilakukan perubahan fundamental di dalam rumusan undang-undang dasar 1945 pascaamandemen yaitu mekanisme baru dalam menentukan kepemimpinan nasional melalui pemilihan Presiden secara langsung dan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan lembaga negara bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kedua lembaga ini bergabung menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Amandemen terhadap UUD 1945 membawa konsekuensi pada perubahan rumusan UUD 1945 yang secara mendasar telah mengubah struktur parlemen Indonesia dalam bingkai teoritis sebelum dilakukan amandemen tersebut sistem parlemen Indonesia dapat dikualifikasikan sebagai mekanisme parlemen dengan sistem parlemen satu kamar (uni cameral sistem). Namun ada juga yang menyebut sistem parlemen Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 yaitu dengan sebutan satu setengah kamar sebutan yang memang kurang jamak dimaksud untuk menyebut kamar pertama adalah DPR sedangkan yang setengah itu adalah MPR yang tidak berfungsi secara langsung sebagai mekanisme perwakilan rakyat karena tidak seluruh anggotanya diangkat dan kekuasaannya yang tidak murni di bidang legislatif.

Namun ada pula yang berangkat dari kekuasaan yang bersumber dari kedudukan MPR sebagai suatu lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang sangat besar sebagai kualifikasi sistem parlemen dua kamar (bicameral sistem). Dengan kekuatannya ini di dalam kinerja sebagai aplikasi kekuasaan yang dimiliki MPR telah memperkuat proses penyelenggaraan pemerintah negara berdasarkan sistem check and balance terutama ketika berhadapan dengan kekuasaan eksekutif. majelis permusyawaratan rakyat dipandang sebagai parlemen karena kongkritnya bukan eksekutif apalagi lembaga yudikatif namun bukan berarti kalau tidak masuk keduanya lantas begitu saja sebagai lembaga legislatif mengingat pada kekuasaannya kendatipun terbatas pada bidang peraturan perundang-undangan MPR dikualifikasikan sebagai lembaga legislative*** (BERSAMBUNG)

Penulis; Notariss, Pengurus Pusat INI (Ikatan Notaris Indonesia) Universitas Diponegoro,  Dosen Sekolah Tinggi Ilmu  Hukum Habaring Hurung Sampit Kalimantan Tengah.

Komentari Artikel Ini

Exit mobile version