VIRUS KORONA MENUJU
DARURAT SIPIL
Dr. H. Joni,SH.MH
KONDISI perkembangan terakhir virus korona maih belum bisa diprediksi. Harapannya tentu perkembangan virus ini menurun dan mata rantai bisa segera terputus sehingga virus yang ada mati. Hidup dan kehidupan warga mayarakat kembali seperti sediakala. Itu menjadi harapan seluruh komponen kehidupan. Namun ketika usaha yang dilakukan secara sungguh sungguh ini tak membuahkan hasil sebagaimana diharapkan, tentu upaya penghentian tak boleh berhenti. Harus terus dilakukan dengan segala daya dan upaya.
Dalam Hukum Adninistrasi Negara, kondisi tanah air sekarang ini berada pada status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Dasar hukum menghadapi virus korona ini adalah Perpres, Praturan Pemerintah (PP) dan Keppres. Konkretnya Perppu No. 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan /atau Stabilitas Sistem Keuangan. Berikutnya PP No. 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid 19). Perangkat teknisnya didasarkan pada Keppres No. 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedarurartat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid 19).
Menuju Darurat Sipil
Sementara kalangan menilai bahwa praktik dari ketiga dasar hukum itu sudah mrupakan bagian dari praktik darurat sipil. Namun tentu saja ada bedanya. Namun faktanya memang pemerintah seolah ingin mengukuhkan kewenangannya, yaitu menerapkan kondisi tanah air dalam status darurat sipil. Sebab dari perkembangan terakhir agar masyarakat menjaga jarak dan tetap di rumah demi mencegah penularan virus korona dinilai tidak efektif. Faktanya khusus di Jakarta saja ada belasan ribu orang perantau memilih mudik lebih dini dari Ibu Kota ke daerah-daerah di Kawasan timur (mereka menyebutnya ke Jawa).
Hal di atas benar benar menjadi kekhawatiran tersendiri, karena meningkatkan risiko kejangkitan dan mengacaukan, bahkan menggagalkan upaya memutus rantai penularan. Kendatipun ujung jalan sudah dijaga aparat keamanan, namun imbauan atau anjuran itu seolah sebatas menjadi anjuran belaka dan faktanya tak digubris warga masyarakat.
Untuk itu, ada yang menyarankan agar Pemerintah membuat aturan yang lebih tegas dan kuat untuk mencegah pergerakan orang, di antaranya pembatasan sosial berskala besar. Kalau perlu juga diperkuat lagi dengan kebijakan darurat sipil. Kebijakan itu semacam senjata pamungkas, sebagaimana ditulis oleh kalangan istana bahwa “Hanya jika keadaan sangat memburuk dapat menuju Darurat Sipil.”
Mencermati perkembangan status ini, diketahiui bahwa pada mulanya presiden Jokowi bertekad untuk tidak memberlakukan lockdown, atau karantina wilayah, atau apa pun Namanya. Dengan argumentasi bahwq sesuai amanat UU, lockdown atau tidak adalah sepenuhnya kewenangan presiden, bukan Pemerintah Daerah. Dalam kaitan ini disadari bahwa dari sisi risiko lockdown tidak kecil, meski kemungkinannya lebih buruk jika tidak ada kebijakan yang tegas serupa itu. Konkretnya bisa saja wabah virus korona akan makin tak terkendali dan korban terus berjatuhan.
Namun demikian lockdown juga bukan satu-satunya solusi yang sudah teruji jitu diterapkan di semua wilayah/negara. Dalam perkembangannya banyak daerah yang secara sepihak menerapkan lockdown yang akhirnya diakomodasikan oleh pemerintah melalui regulasi dari berbagai instansi. Mulai dari Kapolri, Majelis Ulama Indonesia yang ditindaklanjuti dengan regulasi serta tindakan konkret apparat di lini depan.
Solusi Mengakhiri Kebimbangan
Dari pelajaran berharga tentang penerapan lockdown bahwa lockdown di Italia, Prancis, Denmark, dan belakangan India, ternyata malah menimbulkan bencana baru. Kondisi konkretnya, malah tidak efektif. Korban terus berjatuhan dan menimbulkan dampak baru dalam interaksi sosial dan semakin parah keadaan masyarakatnya.
Oleh karena alasan itulah maka pemerintah harusnya tak ceroboh dan terjebak dalam kekacauan. Untuk relevan kiranya disusun skema pengendalian, yakni dengan menggunakan Undang-Undang tentang Bencana, Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Penetapan Keadaan Bahaya tahun 1959. Dalam Perppu yang terakhir ini ada ketentuan yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk menetapkan status darurat sipil, darurat militer, dan bahkan darurat perang.
Pada Perppu Tahun 1959, saat itu presiden Sukarno menegaskan bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat. Presiden dapat mengumumkan darurat sipil kalau terjadi situasi-situasi amat genting,. Legal resdoning atau pemikiran hukumnya bahwa penetapan darurat sipil sebagaimana disebut dalam Perppu itu kalau situasinya telah sampai pada keadaan “kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam”.
Dasi sisi sanksi atau hukuman, kondisi saat ini termasuk dalam kategori bencana nonalam. Dari ketentuan pada aturan itu bahwa hukuman atas pelanggaran status Darurat Sipil dalam Perppu itu juga tergolong ringan, yakni pidana penjara selama sembilan bulan atau denda Rp20.000. Berbeda dengan ancaman hukuman atas pelanggaran serupa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, yakni pidana penjara selama satu tahun atau denda Rp100 juta.
Pendekatan sanksi inilah yang menyulut protes banyak kalangan karena dipandang hanya merupakan refleksi dari upaya mengindarkan diri oleh pemerintah dari tanggung jawab terhadap warga negaranya. Sebab, jika Darurat Sipil diberlakukan, pemerintah tidak bertanggung jawab atas kebutuhan dasar masyarakat. Hal ini berbeda manakala yng dijadikan dasar adalah peraturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan yang disebutkan dengan terang. Bahwa selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Apapun dan bagaimanapun situasinya, warga masyarakat mengharapkan dua hal: pertama ada jaminan ketenteraman dan keamanan. Hal ini tecermin dari kesungguhanp pemerintah dalam menciptakan suasana dimaksud. Kedua, ada jaminan terpeuhinya logistik sebagai proteksi terhadap kelangsungan hidup. Hal ini tecermin dari tindakan pemerintah yang secara konkret memberikan bahan pangan sebagai kompensasi atas pembatasan yang dilakukan pemerintah. Tanpa itu apapun statusnya warga tidak peduli, dan bisa berbuat anarkh. Kekacauan akan timbul dan tentunya suasana akan semakin kacau tak terkendali. Siapapun tak menginginkan hal ini terjadi.***