CATATAN KRITIS TERHADAP KINERJA DAN PERAN DPR DALAM PEMBUATAN UNDANG UNDANG CIPTAKERJA (4)

Bagikan Artikel Ini:

 

CATATAN KRITIS TERHADAP KINERJA DAN PERAN DPR DALAM PEMBUATAN UNDANG UNDANG CIPTAKERJA (4)

Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH

 

Terkait Tugas dan Hak

TERKAIT dengan tugas dan wewenang DPR, diantaranya adalah   tugas yang bekenaan dengan Tindakan untuk menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat, dan memberikan persetujuan kepada Presiden. Persetujuan dimaksud berhubungan dengan  pernyataan menyatakan perang ataupun membuat perdamaian dengan Negara lain; mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial.

Demikian pula berhubungan dengan tindakan berupa memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal: pemberian amnesti dan abolisi; mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar lain; memilih Anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD, dan memberikan persetujuan kepada Komisi Yudisial terkait calon hakim agung yang akan ditetapkan menjadi hakim agung oleh Presiden. Demikian juga Tindakan untuk memilih 3 orang hakim konstitusi untuk selanjutnya diajukan ke Presiden.

Adapun hak DPR disebutkan dalam Pasal 21 UUD 1945, anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan Undang Undang. Dalam Pasal 20A ayat 2 UUD 1945 disebutkan dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang Undang Dasar ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Berikutnya pada Pasal 22 ayat 3 UUD 1945 disebutkan selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang Undang Dasar ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.

Terkait Proses Akhir Undang Undang

Proses akhir dari pembuatan peraturan perUndang Undangan adalah pengundangan dan penyebarluasan yang memerlukan penanganan secara terarah, terpadu, terencana, efektif dan efesien serta akuntabel. Pengundangan adalah penempatan peraturan perUndang Undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

Maksudnya agar supaya setiap orang dapat mengetahui peraturan perUndang Undangan, pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perUndang Undangan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia. Dengan penyebarluasan diharapkan masyarakat mengerti, dan memahami maksud-maksud yang terkandung dalam peraturan perUndang Undangan, sehingga dapat melaksanakan ketentuan peraturan per-Undang Undangan dimaksud.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Terkait UU Ciptaker

Sekaitan dengan UU Ciptaker, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan PerUndang Undangan berwenang melakukan pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia telah melakukan proses terhadap UU dimaksud.

Namun demikian berdasarkan evaluasi mulai dari proses  sampai pengesahan, ada kesan tentang praktik buruk proses legislasi UU Cipta Kerja tidak berhenti pada saat persetujuan RUU Cipta Kerja. Tercatat pada  Rapat Paripurna DPR Senin, 2 November 2020 tengah malam, salinan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memuat 1.187 halaman resmi diunggah oleh pemerintah dalam laman setneg.go.id. Sayangnya, walaupun sudah diundangkan, UU Cipta Kerja masih mengandung kesalahan perumusan yang berdampak pada substansi pasal.

Pada halaman 6 misalnya, rumusan Pasal 6 UU Cipta Kerja mencantumkan rujukan Pasal 5 ayat (1) huruf a, padahal Pasal 5 UU Cipta Kerja tidak memiliki ayat. Selain itu, Pasal 175 ayat (5) tertulis merujuk pada ayat (3), padahal seharusnya merujuk pada ayat (4). Kesalahan perumusan tersebut bukan sekadar kesalahan ketik, tetapi perlu dimaknai sebagai buah dari proses pembentukan regulasi yang dipaksakan dan mengorbankan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.

Apabila dilihat lebih dalam, kesalahan perumusan itu merupakan bentuk pelanggaran atas asas kejelasan rumusan yang diatur dalam Pasal 5 huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal itu semakin menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja mengandung cacat formil, dan harus dipertimbangkan serius oleh Mahkamah Konstitusi dalam menindaklanjuti permohonan uji formil nantinya.

Permasalahan dalam perumusan Undang-Undang berupa salah merujuk pasal pernah terjadi sebelumnya, yaitu ketika pemerintah mengakui ada kesalahan redaksional dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Ketentuan pidana dalam Pasal 116 ayat (4) seharusnya merujuk pada Pasal 80, tetapi rujukan yang tertulis adalah Pasal 83. Akibatnya, ketentuan pidana itu tidak bisa dilaksanakan, dan pasal itu dimohonkan pengujian ke Mahkamah Konstitusi. Dalam kaitannya dengan UU Cipta Kerja, temuan kesalahan penulisan di bagian awal tidak menjamin bahwa hanya itu permasalahan redaksional yang ada dalam UU Cipta Kerja.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Temuan tersebut menunjukkan proses legislasi yang tidak transparan, tidak partisipatif, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pembentuk undang-undang, dalam hal ini Presiden dan DPR harus bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi dalam proses legislasi, tidak hanya dari segi teknis penulisan, tetapi juga dari substansi yang masih bermasalah. Secara konstitusional, Presiden sebetulnya dapat membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk memperbaiki kesalahan redaksional dalam UU Cipta Kerja. Namun, langkah itu tetap tidak memberikan jalan keluar atas kerusakan yang telah terjadi akibat proses legislasi yang buruk dalam setiap tahap pembentukan UU Cipta Kerja.

Kesalahan-kesalahan redaksional serta praktik buruk dalam proses pembentukannya merupakan bukti yang terang benderang bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat secara formil sehingga harus dinyatakan tidak mengikat secara hukum untuk seluruhnya. Bedasarkan hal-hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak agar Pemerintah tidak melanjutkan proses pembentukan peraturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja dan fokus terlebih dahulu untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, agar praktik bermasalah UU Cipta Kerja tidak kembali terulang.

Berikutnya, ada tuntutan agar Pemerintah dan DPR melakukan evaluasi terhadap proses legislasi secara menyeluruh, agar kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam pembentukan UU Cipta Kerja tidak terulang kembali; dan Mahkamah Konstitusi melakukan koreksi total atas kesalahan prosedur pembentukan UU Cipta Kerja dengan menyatakan Undang-Undang itu tidak mengikat secara hukum, dalam hal terdapat permohonan uji formil.

Namun sebagaiimana dipahami bersama, bahwa pada akhirnya UU ini berporses, sampai kepada pengesahan. Secara formal akhirnya UU ini ditandatangani oleh presiden Jokowi, yang berarti secara administrative dinilai telah melalui proses pembuatan legislasi yang sesuai dengan aturan yang berelaku. Kendatipun secara konstitusional memang tetap ada peluang untuk mempermasalahkan substansinya, melalui Hak Uji Materiil di Lembaga Mahkamah Konstitusi (MK).*** (BERSAMBUNG)

Komentari Artikel Ini