TAK AKAN MELAYU TERBERAK DI CELANA

Bagikan Artikel Ini:

TAK AKAN MELAYU TERBERAK DI CELANA

(Rempang Malang Rempang Terbuang)

Catatan H. Dheni Kurnia

DEMONSTRASI besar-besaran terjadi di Batam akhir Agustus lalu. Dikatakan besar, karena hampir 4 ribu orang turun ke jalan menolak investasi dari China. Sejauh ini, tak pernah ada demo sedahsyat itu di Batam, Kepulauan Riau (Kepri).

Demo digelar hampir oleh seluruh warga Pulau Rempang, Galang, Bulang dan simpatisan anak Melayu Kepri di depan Gedung Badan Pengusahaan (BP) Batam. Demo berakhir rusuh, tegang dan sengit. Adu argumentasi, adu data dan adu sejarah mewarnai debat siang terik itu.

Batu dan botol beterbangan di depan gedung yang dijaga ketat TNI dan Polri. Seperti punya sayap, salah satu lemparan, hinggap di bibir Komandan Kodim (Dandim) 0316 Batam Letkol Inf Galih Bramantyo. Diapun mengaduh menahan sakit.

Tapi karena Galih seorang komandan dan perwira TNI, dia tidak marah. Malah dengan sabar dia bilang; “Baru kali ini dalam karir saya terkena batu. Tapi gak apa-apa. Saya hanya minta kesabaran Bapak dan Ibu. Kami di sini semuanya sabar Pak. Kita sama-sama menjalankan tugas, saya minta jangan ada yang anarkis. Saya minta sekali lagi tidak ada yang lempar-lempar,” kata Galih Bramantyo.

Tapi masyarakat sudah kadung marah. Mereka tak lagi suka mendengar. Imbauan itu macam masuk kiri, keluar kanan. Mereka terus saja main lempar batu, kayu, air mineral, sepatu dan sandal. Bahkan pagar besi Gedung BP, jebol dirusak massa. Kesabaran pihak keamanan benar-benar diuji hari itu. Meski sempat adu mulut sangat panjang, unjukrasa kembali teratur.

Masyarakat Rempang dan Galang mengaku, sudah gerah dengan pemerintah dan penguasa. Mereka telah bermohon berkali-kali agar kampung mereka tidak digusur. Tapi tak ada yang mau mendengar. Mau mengadu kepada siapa. Mau melapor kepada siapa. Semuanya orang-orang dari pemerintahan yang sah. “Jalan terakhir ya kami unjukrasalah,” kata Hazrin, salah seorang demonstran.

Hari itu, pukul 09.00 pagi, massa sudah memadati Kantor BP Batam. Jumlahnya, bertambah terus hingga siang hari. Jalanan macet dan lalu-lintas lumpuh. Mereka mulai berorasi secara bergantian. Intinya, mereka meminta pemerintah membatalkan niat membangun pabrik kaca raksasa yang dibuat di kampung mereka.

Dalam orasi disampaikan, investasi di Pulau Rempang itu, mengakibatkan warga kampung tua dan situs sejarah terancam punah. Karena itu, ribuan massa yang tidak saja dari Pulau Rempang, Kecamatan Galang, tapi juga dari aliansi Pemuda Melayu se-Provinsi Kepri, tak bisa lagi menahan amarah. “Kami tak bisa diam lagi. Kami menolak relokasi. Karena wilayah yang kami tinggali saat ini adalah tanah adat. Kamipun sudah turun-temurun tinggal di sini” kata Syamsuddin, seorang orator.

Selagi teman-temannya berorasi, sebagian pendemo mulai memanjat pagar Gedung BP dan terus mendesak untuk masuk. Tentu saja tindakan mereka mendapat hambatan dari para petugas. Seketika suasana menjadi panas. Dan, melayanglah semua yang bisa diterbangkan. Batu bersilewaran, botol plastik berisi (maaf) air kencing, juga ikut melayang-layang.

Menurut Syamsuddin, kesabaran masyarakat memang dah memuncak. Karena sebelumnya atau pada 13 Agustus 2023, mereka sudah berbicara dengan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanam Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia,  saat berkunjung ke Kantor Kecamatan Galang di Kelurahan Sembulang. Ketika itu mereka dengan tegas mengatakan, tidak mau digusur dan mohon mempertimbangkan kembali keinginan pemerintah.

Baca Juga :  Bistamam, Mesin Tua Melawan Epi Valentino Rossi

Mereka, kata Syamsuddin, bukan melarang orang luar berinvestasi. Bukan pula menghalangi niat pemerintah mambangun Kepri. “Silahkan saja. Kami tetap mendukung. Tapi kampung tua kami jangan diusik, karena memiliki sejarah budaya yang panjang. Kepri ini kan luas. Bangunlah di tempat yang tak mengganggu pelestarian budaya dan sejarah,” ujar Syamsuddin.

Bahlil Lahadalia ketika itu, merespons permintaan warga. Dia menyampaikan, aspirasi masyarakat tersebut akan dibicarakan kembali dalam rapat yang akan dilaksanakan dengan pihak-pihak terkait. Kata Pak Menteri Bahlil, akan dirapatkan lagi. “Akan kita dipertimbangkan,” tambah Syamsuddin menirukan ucapan menteri.

Namun beberapa hari setelah itu, mereka mendapat “kejutan” dari Pemerintah Daerah (Pemda) dan BP Batam. Pemerintah menyampaikan, bahwa pembangunan pabrik kaca dan solar panel terbesar di Indonesia ini, segera dibangun oleh Xinyi Grup dari China dengan nilai investasi sebesar 11,6 miliar USD atau setara Rp174 triliun.

Beberapa hari setelahnya, Menteri Bahlil Lahadalia menegaskan, investasi tersebut akan tetap dilaksanakan dan diperkirakan menyerap banyak tenaga kerja, termasuk anak tempatan. Akan ada sekitar 35.000 lowongan kerja baru di Pulau Rempang.

“Investasi ini betul-betul akan memakai tenaga kerja kurang lebih sekitar 35 ribu orang. Karena ini adalah hilirisasi pasir kuarsa dan silika yang salah satu akan kita lakukan di Rempang. Pelaksananya adalah  Xinyi Group yang merupakan perusahaan dari Xinyi Glass dan Xinyi Solar. Xinyi adalah perusahaan multinasional yang berbasis di Hong Kong dan menjadi produsen kaca terbesar di dunia,” tegas Bahlil.

Dia juga menjelaskan, pabrik ini akan menjadi yang terbesar nomor dua di dunia setelah China, dan terbesar nomor satu di luar Tiongkok. Hasilnya nanti, difokuskan untuk ekspor, karena pasar utamanya adalah pasar internasional. Produknya digunakan dalam sektor otomotif, konstruksi dan energi.

Mendengar ini, tentu saja masyarakat tersengat getir. Ternyata pertemuan dengan Bahlil hanya sekedar basa dan basi. Bahkan, Pemerintah Kepri dan BP Batam mereka nilai sengaja menutup mata dari samping. Pemda sepertinya memakai kacamata kuda yang melihat lurus-lurus saja. Akibat pembangunan itu, melenyapkan bentuk keberpihakan dan kepedulian kepada sejarah dan masyarakat.

Masyarakat pun kasak-kusuk. Segala bentuk protes disampaikan ke berbagai pihak. Surat menyurat juga berkelayapan kian kemari mencari perlindungan dan perhatian. Tapi tak ada yang menghasilkan. Rempang yang malang tetap akan dihancurkan untuk pabrik. Asa masyakarat terbuang dalam limbah yang paling kotor. Karena itulah kemudian terjadi demo besar-besaran. Dengan dukungan etnis Melayu yang bersimpati, mereka bersumpah akan melakukan demonstrasi berkali-kali lagi.

Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, menyebut, masalah pembangunan Rempang ini, sudah disosialisasikan sejak April 2023, melalui media massa, media sosial, siaran pers resmi, hingga dibentuk tim yang langsung datang untuk melakukan sosialiasi ke masyarakat sampai saat ini. Jadi tidak benar jika mereka tidak menanggapi keluhan masyarakat. Bahkan tanah masyarakat yang terkena pembangunan akan diganti rugi dengan wajar. Mereka pun akan dibangunkan pemukiman yang layak.

Ia juga mengatakan proyek ini ditindaklanjuti secara serius, hati-hati dan selalu membuka ruang bagi masyarakat Rempang untuk berdialog dan berdiskusi. Makanya dia membantah keras tudingan kelompok masyarakat sipil bahwa sosialisasi dilakukan secara tidak transparan.

Tapi apapun itu, warga Rempang sampai titik darah terakhir, tetap akan menolak relokasi dan penggusuran kampung tua yang ada di wilayah itu. Kalau toh akan dibangun juga, mereka minta 16 kampung tua tersebut tidak diapa-apakan. Kampung itu sudah menjadi kampung adat yang menjadi permukiman warga asli yang diyakini telah bermukim di Pulau Rempang sejak tahun 1834. Dalam masalah inilah mereka bertikai dan tak bisa menerima masukan dari Ketua BP Batam, Muhammad Rudi.

Baca Juga :  Bistamam, Mesin Tua Melawan Epi Valentino Rossi

#Prajurit Kesultanan Riau-Lingga#

Menjawab tentang pertikaian ini, Budayawan Melayu, Prof Dr. Dato’ Abdul Malik M.Pd menyebut, warga Rempang memang orang Melayu yang berwatak keras dan masih memegang adat resam. “Penduduk asli Rempang, Galang dan Bulang (kini masuk wilayah Kota Batam) adalah keturunan para prajurit Kesultanan Riau-Lingga yang sudah eksis sejak 1720 masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I,” katanya.

Menurut Dato’ Malik, pada Perang Riau I (1782-1784) mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah. Dan, dalam Perang Riau II (1784–1787) mereka adalah prajurit Sultan Mahmud Riayat Syah. Ketika Sultan Mahmud Riayat Syah berhijrah ke Daik-Lingga pada 1787, Rempang-Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar Kesultanan Riau-Lingga. Pemimpinnya Engku Muda Muhammad dan Panglima Raman yang ditunjuk oleh Sultan Mahmud.

Malik menambahkan, berdasarkan catatan sejarah, pasukan Belanda dan Inggris saja tak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau-Lingga. Anak-cucu merekalah sekarang yang mendiami Rempang-Galang secara turun-temurun. “Pada Perang Riau itu nenek-moyang mereka disebut Pasukan Pertikaman Kesultanan,” ujarnya lagi.

Sejarah juga mencatat, Prajurit Pulau Rempang dan Galang ini, tertulis dalam “Tuhfat al-Nafis” karya Raja Ali Haji. Buku ini merupakan buku pintar Melayu yang dimiliki Masyarakat Riau dan Kepri. Oleh karena itu, merupakan hal wajar, bila ada masyarakat Rempang-Galang bersumpah sampai titik darah penghabisan untuk mempertahankan kampungnya, karena mereka adalah keturunan pasukan Sultan Riau-Lingga.

Di sisi lain Budayawan Riau, HA Aris Abeba mengatakan, demo dan protes masyarakat itu, karena secara psikologis mereka benar-benar merasa tertekan. Sebagai orang asli Melayu, mental mereka terbeban dengan pembangunan yang dirancang pemerintah. Satu sisi mereka sangat menjunjung dan bangga dengan adat budaya, tapi sisi lainnya mereka diwajibkan menurut aturan dan kesewenangan yang ditetapkan penguasa.

“Pergolakan batin inilah yang membuat Galang, Rempang, Bulang dan Melayu lainnya bergolak. Karena mereka hanya meminta sedikit, tapi yang sedikit itupun tidak bisa mereka dapatkan, apalagi dipertahankan,” ujar Aris yang menyebut pula nenek moyangnya, berasal dari Daek Lingga, Kepri.

Orang Melayu, sambungnya, orang yang suka menerima, cinta damai dan tidak akan berak (buang air besar) di dalam celana. Karena celana itu dia bersihkan, dicuci dan dipakai setiap saat. Dia tidak akan mengotori celananya sendiri dengan najis. Atau sama artinya dengan orang yang membuang tinjanya di meja makan.

Orang Melayu pada dasarnya, tidak akan mempermalukan dirinya, adatnya, kebudayaan dan bangsanya. Apalagi merusak orang lain. Orang Melayu bisa diajak beriya dan sekata. Ke gunung sama mendaki, ke lurah sama menurun. Menerima titah, daulat tuanku. Asal dia jangan dikhianati dan tahu cara mendekatinya.

“Mungkin Pemerintah Kepri BP Batam atau Bahlil Lahadalia itu tak tahu cara-cara orang Melayu,” kata Aris sambil tersenyum. Entahlah! ***

H. Dheni Kurnia; Wartawan, Karateka (Pemegang Sabuk Hitam Dan V) dan Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI)

Komentari Artikel Ini