Refleksi HUT ke-66 Propinsi Riau Memihak Yang Kuat, Hindari Rakyat Lemah, Gaji Subhat Bukan Soal

Bagikan Artikel Ini:

Refleksi HUT ke-66 Propinsi Riau Memihak Yang Kuat, Hindari Rakyat Lemah, Gaji Subhat Bukan Soalan

Oleh: Elviriadi

Tanpa terasa, perjalanan propinsi Riau telah berusia 66 Tahun, tepat pada hari ini, Rabu 9 Agustus 2023.

Syahdan, dahulu kala, demi “Riau”, luruhlah hati raja dan sultan di tanah melayu. Berikrar penuh setia melebur demi sebuah HARAPAN. Kerajaan Indragiri (1658-1838), Kerajaan Siak Sri Indrapura (1723-1858), Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913) dan beberapa kerajaan kecil lainnya, seperti Tambusai, Rantau Binuang Sakti, Rambah, Kampar dan Kandis, dan entah kerajaan apa lagi menyatakan kerelaan. Lepas lah kekuasaan di tangan sultan.

Pembangunan Provinsi Riau telah disusun melalui Undang-undang darurat No. 19 tahun 1957 yang kemudian disahkan sebagai Undang-undang No.61 tahun 1958.Provinsi Riau dibangun cukup lama dengan usaha yang keras dalam kurun waktu 6 tahun 17 November 1952 s / d 5 Maret 1958).

Melalui keputusan Presiden RI pada tanggal 27 Februari tahun 1958 No.258 / M / 1958, Mr.SM Amin ditugaskan sebagai Gubernur KDH Provinsi Riau pertama kali pada 5 Maret 1958 di Tanjung Pinang oleh Menteri Dalam Negeri yang diwakili oleh Sekjen Mr. Sumarman. Lalu / pada Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Desember / I / 44-25 pada tanggal 20 Januari 1959, Pekanbaru menjadi ibukota Provinsi Riau menggantikan Tanjung Pinang.

Namun seiring waktu, pembangunan sentralistik Orde Baru menghumban Riau menjadi Areal Padang Perburuan. Hutan Rimba luluh lantak dek HPH (Hak Penguasaan Hutan), disusul menggelinding bak trenggiling Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Guna Usaha (HGU).

Lengkap sudah penghancuran ekonomi pedesaan yang bergantung pada sungai, hasil hutan rotan damar. Dan kerinduan bermain dengan pekik siamang, air gambut dan kicauan elang.

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Rimba dengan pelbagai fauna dan flora, sungai dan suak, ceruk dan rantau, mengilhamkan imaji Melayu yang sasa. Sebuah impian puak yang rindu ketentraman, kebajikan dan pembagian ruang hidup dengan seksama. Imajinasi Melayu bukan resep untuk menjadi ras arya yang perkasa, rasa superior dan ego puak yang berhasrat menguasai benda dan pusaka. Rimba adalah perlambang idealisme Melayu, keinginan untuk berpangku-pangku dengan hewan, bersatu dengan tumbuhan dan ekologi ciptaan Tuhan. Rimba kemudian merecup dalam berpusu-pusu pantun dan ungkapan, riuh rendah dalam kehalusan prosa, menyuarakan suara hati yang bersambut kicau burung di kala pagi. “Di atas pulau gambut ini, peluh kita pernah tumpah, dibawa anak sungai yang menjalar di akar-akar bakau. Sampan tua yang mengapung, di atas harapan dan doa, kita dayung menuju muara. Tempat ikan-ikan mengaji laut dengan siripnya,”

Tetapi setelah 66 tahun ia berdiri diusia yang tak lagi muda. Rakyat jelata yang ditelan Sawit Akasia tak tau kemana menghala. Pengaduan dan curhatan sudah selaksa, namun pulanglah ke kampung membawa rasa hampa.

Bahkan, Bongku bin Jeloden, putra Sakai yang menanam bengggala di tanah pusaka, berbalas jeruji , disambut PRAHARA ABADI.

Ada lagi kisah Sukardi, Desril dan budak budak Batin Solapan Kota Duri, hendak berkebun mengais rezeki, tapi ujungnya tetap jeruji.

Lain sukardi Bongku, lain pula Logam. Logam putra Sakai harus menghembus nafas terakhir pada Sabtu (1/7/23) setelah terkena lemparan batu demi mempertahankan tanah dan marwah.

Lalu kemanakah Riau yang mempunyai pemerintahan. Memiliki kuasa dan daya membela rakyatnya sekedar agar “bertuan dinegeri sendiri’?

Baca Juga :  HOAX: FILTER DULU SEBELUM DI SEBARLUASKAN

Namun itulah yang terjadi. HUT ke 66 pagi ini mengajak kita “bersatu”. Bersatu dalam apakah? Kekuatan apa lagi yang perlu dipersatukan, apabila dengan yang kuat disitu keberpihakan. Sedang yang lemah harus terbiarkan dan dihindarkan

Sehingga gaji -yang tak menegakkan kebenaran- apakah syubhat tetap dimakan?

Melamban

Bertahun tahun, birokrasi di tanah Melayu cenderung “melambat” kalau diperdentingkan suara suara rakyat yang dipermainkan penjahat lingkungan, cukung cukong kantong tebal penuh seringai.

Karena itu, mediasi kewafatan Logam (mengingatkan kita pada Logan : Wolferine X men) hanyalah sebuah onani intelektual. “Ayo jangan ada lagi ribut ribut dan provokatosi. Silahkan Batin dan Tetua Sakai Gugat Perusahaan. Aaacch, tidakkah diupayakan verifikasi pertanahan, keabsahan dan luas HGU, dan sederet upaya Riau untuk menegakkan kebenaran? Dan hak hak sakai manakàh yang terabaikan?

Wahai tuan pejabat pejabat berbaju kurung di acara meriah HUT 66 pagi ini.

Negeri ini memerlukan pejabat yang memiliki komitmen sejarah. Memilih jiwa jebat daripada Hang Tuah.

Rakyat menunggu walau perahu Riau terasa melamban, silat lidah makin tak mempan. Kuatkan nurani, lawan konspirasi kemakmuran yang menggoda iman. Tapi kami tau tuan mungkin tak akan tahan. Terhadap yang kuat, makin Tuan kuatkan. Agar jabatan tak lepas dibadan.

Tinggallah Bongku, Sukardi dan Logan. Budak budak Sakai, Akit, Bonai yang berlari meniti pipa angguk tak berkesudahan.

Inilah nasib negeri warisan Sultan. Ke hulu ke hilir tak tentu haluan. Lantak dikau lah, Atan!!

 

Komentari Artikel Ini